Chapter 54

19K 1.8K 234
                                    

Ruby terbangun di atas lantai saat mendapati matahari menembus gorden kamarnya. Melihat cahaya menyilaukan itu seketika membuat ia terbangun dari mimpi indahnya. "Sekolah... sial gue telat!"

Gadis itu segera bergegas ke kamar mandi kemudian mengenakan seragamnya. Ruby langsung turun ke bawah dan menemukan bundanya sedang menyiapkan makanan dan sang ayah sibuk bermain ponsel.

"Kok bunda gak bangunin Ruby? Bang Langit mana?"

"Abang lagi sakit. Dia gak bisa sekol—"

"Kata siapa?" Langit tiba-tiba muncul di tengah percakapan dan memotong perkataan Bunda. "Langit harus sekolah, masih ujian," ujarnya.

"Gak! Abang gak boleh sekolah. Liat mukanya, pucat banget, kan? Kalau masalah ujian bisa disusul."

"Gak, Bunda. Langit udah belajar semalaman buat mempersiapkan ujian hari ini. Jadi mau gak mau Langit harus tetap sekolah. Jangan khawatir, Langit udah baikan."

"Bang, lo bandel banget sih kalo dibilangin orang tua. Ada aja alasannya," timpal Ruby menatap sinis. Ia menempelkan telapak tangannya di jidat sang Abang kemudian berdecak malas. "Lo di rumah aja kalo kata gue. Lo demam parah. Lagian sih, belajar gak ingat waktu," ucapnya lagi.

"Tuh, dengerin apa kata adek kamu. Dia aja ngerti, masa kamu abangnya gak ngerti?" imbuh Ayah.

Langit memutar bola matanya malas. Mengapa di rumah ini tidak ada satupun orang yang berpihak kepadanya?

"Lagian, lo gak bisa fokus ngerjain tugas kalau sakit. Kalau ternyata nilai lo anjlok gara-gara itu, lo gak masalah?" ucap Ruby menakut-nakuti. Ia tau, Langit paling sensitif kalau soal nilai.

"Hari ini ujian terakhir, kan? Pasti ada ujian susulan habis itu."

"Ahh ... oke-oke. Langit istirahat hari ini," sahutnya dengan berat hati. Lagi pula Langit benar-benar merasa tidak enak badan dan pusing. Gawat jika tiba-tiba pingsan saat menjawab soal.

Embun mengelus rambut sang putra sambil tersenyum manis. "Kayaknya sekarang Bunda udah jadi yang kedua, ya?"

"Maksud Bunda?" tanya Langit.

"Udah beberapa kali Bunda tegur kamu biar gak usah sekolah, tapi kamu tetap bandel dan gak dengerin ucapan Bunda. Tapi sekali adek kamu yang bilangin, kamu langsung nurut," Embun pura-pura cemberut, "dulu Langit pernah bilang, kalau Bunda satu-satunya wanita yang paling dia hormati, tapi sekarang, kayaknya Bunda udah jadi yang kedua. Kamu lebih nurut sama adek kamu. Kenapa?"

Langit mengusap tengkuknya sambil melirik dua perempuan di sampingnya. "Ruby itu, dia lebih galak kalau marah dari pada Bunda."

"Jadi cuma itu alasannya?"

"Bohong! Sejak kapan gue galak sama lo? Yang ada lo yang tiap hari omelin gue karena masalah sepele," sahut Ruby tak terima.

"Ruby ... masa kamu ngomong gitu sama Abang kamu?" tegur Ayahnya.

"Yaa, habis dia nyebelin," kata Ruby sambil menggerutu kesal.

Embun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap kedua anaknya yang begitu berbanding balik. Ia tidak heran, Langit memang keturunannya, ia memiliki hati dan perasaan yang lembut, sedangkan Ruby ... mungkin dia juga mirip ibunya, entah seperti apa dia, pikir wanita itu.

***

"Woee!! I'm come back. Cegil kita kembali. Gak ada yang kangen gitu sama gue?"

Transmigrasi Gadis Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang