"Apabila ada orang mencoba bermain-main denganmu maka ikutilah permainannya. Rasakan sesuatu yang menyenangkan kemudian anggap permainan itu kini ada di dalam genggamanmu."
"Bermainlah dengan licik seperti menjebak dua tikus dalam satu perangkap, itu bukanlah sebuah kecurangan, namun pilihan yang bijak."
~ RL~
***
Ruby duduk di halte bus dengan wajah lesu. Matanya terlihat lelah, gadis itu menatap ujung sepatu putih sambil menendang-nendang udara.
Ternyata benar, tak baik berekspresi terlalu tinggi. Semua yang dijanjikan belum tentu ditepati.
Gadis dengan rambut panjang dikuncir kuda itu menyeka ujung matanya yang mengeluarkan setetes air mata. "Sialan! Sejak kapan gue jadi lemah gini," gumam Ruby kesal.
Namun tak dapat dipungkiri, dirinya yang jarang bersedih seperti inipun juga bisa merasakan perasaan marah, kecewa, cemburu, namun selalu ia tutupi dengan sifat cerianya. Ruby seakan terlihat baik-baik saja. Namun jika dilihat dari dalam, hatinya perlahan remuk.
Ruby pandai menyimpan rasa sakitnya. Disaat orang-orang mengecewakan dirinya, pun, gadis itu tak pernah mengeluh. Ia tau, tak ada manusia yang bisa dipercaya.
"Tapi ... gue juga pengen punya seseorang yang bisa ngertiin gue!"
Seperti inilah ketika ia benar-benar lelah. Ruby akan mengingat rasa sakit yang lain, sehingga tercampur padu membentuk sebuah penderitaan.
"Dulu, ibu gak pernah manjain gue dari kecil. Gue rela hidup sebagai anak miskin tanpa ayah. Gak ada yang peluk gue pas lagi sedih, karena itu gue memutuskan untuk jadi anak yang kuat. Gue dianggap anak nakal, padahal yang gue pengen cuma perhatian!" Ruby menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Gadis itu mulai terisak. "Kenapa orang-orang selalu mainin perasaan gue?"
Semenjak kecil, Ruby tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup. Ibunya terlihat tak peduli bahkan bersikap kasar padanya. Namun entah mengapa saat itu Ruby sama sekali tak mengambil hati. Ia malah menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang biasa bahkan mengira itu merupakan sebagai sebuah bentuk kasih sayang sang ibu.
Ruby juga terkenal dengan sebutan anak haram. Karena tak ada orang di sana yang tau jelas siapa sosok ayahnya. Ketika Ruby bertanya, sang ibu selaku menjawab dengan sarkas, ayahnya sudah meninggal. Karena itu Ruby tak mau bertanya lagi, Ruby tak ingin melihat ibunya sedih.
Saat masuk ke dalam dunia barunya, baru kali ini Ruby merasakan berbagai macam emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan tertarik, perasaan sayang, perasaan cemburu, dan kepekaan terhadap perasaanya sendiri. Dulu, Ruby seakan tak pernah memiliki empati maupun kepedulian, gadis itu terlihat ceria, namun ketika sendiri ia akan menjadi sosok orang yang sangat berbeda.
"Kalau lo benci mereka, kenapa gak bunuh aja?"
"Hah?" Ruby sontak menatap sekeliling.
Tak ada siapapun.
Ruby pasti kelelahan sehingga mendengar suara-suara aneh.
Ruby berdiri dari tempatnya, hendak mencari Langit yang masih berada di sekolah. Kebetulan jarak sekolah dengan halte tak terlalu jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Gadis Gila [END]
Teen FictionBELUM DIREVISI!! Bagaimana jadinya jika seorang gadis yang memiliki sifat bandel, bar-bar, suka membuat onar, dan sedikit tidak waras mengalami transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di dalam novel yang baru saja ia baca sebelum meninggal? Sudah ka...