***
"Apaan nih?" Ruby menatap Damian yang tiba-tiba datang lagi lalu memberikan botol obat kepadanya.
"Buat pencegah hamil," jawab Damian canggung kemudian duduk di sebelahnya.
Ahh, Ruby hampir saja lupa. Ia terlalu stress sampai lupa dengan hal yang paling penting.
Setelah kejadian di mana Ruby hampir ingin membunuh pria asing itu, ia memilih untuk memenangkan diri sebentar di taman rumah sakit. Awalnya Ruby mengusir Damian karena ingin sendirian, namun lelaki itu malah datang lagi.
"Jangan bicara lagi, gue gak mau diganggu. Kalau mau berisik silahkan pergi," katanya saat melihat Damian akan membuka mulutnya.
"Gue diam," sahut lelaki itu cepat.
Ruby berusaha menikmati keheningan ini untuk sementara, sebelum isi kepalanya kembali dipenuhi oleh beragam pikiran. Semilir angin menerpa wajahnya, mengelus kelopak matanya, dan mengalirkan magnet yang mendorongnya untuk menutup.
Damian menatap lembut gadis di sampingnya, rasa bersalah terus saja menghantuinya. Ingin sekali Damian memeluk dan meyakinkan kepada Ruby bahwa semuanya akan baik-baik saja. Damian ingin menjadi seseorang yang dibutuhkan oleh gadis itu. Damian tau Ruby selalu merasa sendirian, apa lagi ketika Langit koma, Ruby pasti sangat merasa sedih. Kehilangan satu-satunya hal yang kita punya, Damian tau betapa frustasinya jika merasakan hal itu.
Tangan Damian terangkat menyentuh pipi gadis itu membuat sang empu membuka matanya perlahan. "Jangan khawatir, lo masih punya gue."
Ruby tertegun melihat mata sayu itu tertuju kepadanya. Damian mengukir senyum tipis sebelum tangan yang tadi mengelus lembut pipinya kini berpindah ke atas kepala membuat Ruby seketika membeku "Ternyata lo gadis kuat, lebih kuat dari apa yang gue bayangkan," ucap Damian menggapai tangan gadis itu untuk menggenggamnya. "Bagi gue, lo itu matahari yang ga kenal lelah, lo selalu bisa memancarkan sinar dengan cara lo. Bagi gue, lo matahari yang menyinari hidup gue, Ruby. Hidup gue awalnya gelap tanpa cahaya, tapi semenjak kenal lo, gue seperti baru keluar dari tempat yang mengurung gue selama ini," lanjutnya.
Ruby menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya. Matanya tertuju pada dedaunan yang gugur dan berserakan di tanah. Tak menjawab perkataan Damian, Ruby bersikap seolah-olah tidak mendengarnya meskipun kini pikirannya bersikap sebaliknya.
"Gue gak bakal membiarkan lo kehilangan gue. Gue gak akan pernah ninggalin lo sendirian apapun yang terjadi," ungkap Damian.
"Boleh peluk?" Tanpa persetujuan, Ruby mendekap Damian begitu saja. "Bentar aja, izinin gue peluk lo sebentar."
Damian sempat terkejut, namun ia ikut membalas pelukan hangat Ruby. Lantas, Ruby pun ikut mengeratkan pelukannya. Ia hampir terisak, tetapi ia tahan sekuat mungkin.
"Jangan ditahan." Damian mengelus lembut surai panjangnya. "Kalau ditahan, nanti dada lo sesak."
Akhirnya Ruby melepas tangisannya. Tetesan demi tetesan air mata mulai berjatuhan di bahunya. Damian dapat merasakan itu, ia pun semakin mengeratkan pelukan mereka.
Akhirnya Ruby mengerti, inilah yang ia inginkan. Seseorang yang menjadi tempat bersandar untuknya. Ruby pikir ia akan cukup kuat jika terus memikul semuanya sendiri, namun sepertinya tidak. Ruby juga membutuhkan orang lain di hidupnya, dan orang itu kini sudah ada di hadapannya.
Mungkin gue salah. Gue juga butuh lo, Damian.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, suara berputarnya jarum itu menemani heningnya ruangan. Ruby tertidur lelap di rumahnya, kedua orangtuanya memaksa ia untuk istirahat di rumah karena melihat Ruby nampak sangat lelah dan stres.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Gadis Gila [END]
Teen FictionBELUM DIREVISI!! Bagaimana jadinya jika seorang gadis yang memiliki sifat bandel, bar-bar, suka membuat onar, dan sedikit tidak waras mengalami transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di dalam novel yang baru saja ia baca sebelum meninggal? Sudah ka...