Prolog

3.2K 173 17
                                    

"Wangi rambutmu menjadi candu bagiku. Malam itu sungguh tak terlupakan."

Jiwanya serasa tercabut meninggalkan raga tanpa tenaga. Membelalak dalam hujaman rasa takut tak terhingga. Bibir wanita itu bergetar dengan air mata tergenang.

Membawa tubuhnya masuk lebih dalam, ia melihat suaminya sedang duduk di sofa kamar dengan banyak lembaran surat warni-warni sebagai suguhan. Panah ketakutan tepat mengenai sasaran. Suaminya baru saja pulang lalu disuguhi fakta pengkhianatan. Nasibnya sudah jelas dalam bayangan.

"Siwon, aku bisa menjelaskannya," sergahnya cepat berusaha menghentikan dugaan buruk yang pasti sudah memenuhi pikiran pria itu.

"Apa kau hanya menganggapku sebagai mainan?" Tatapan terluka ia berikan. Pengkhianatan yang ia dapatkan amatlah menyakitkan. Pekerjaan yang mengharuskan Siwon jauh dari rumah dan keluarga, justru dimanfaatkan istrinya untuk mencari kenyamaan pada pria lain.

"Siapa pria itu?" Siwon berdiri menjatuhkan surat dalam pangkuannya. Kilatan kemarahan tak terelakkan. Bagai petir yang mnyambar, bisa melukai siapa saja dalam jangkauan. Siwon sudah lelah bertanya dengan pertanyaan yang sama berulang kali.

Yoona menunduk diam di tempat. Dalam sekali kedipan ia mendongak mengikuti arah rambutnya dalam tarikan kasar suaminya. Matanya terpejam meluluhkan air mata. Sebelas tahun hidup bersama Siwon, kekerasan sudah biasa ia rasakan.

"Berapa lama kalian berhubungan? Jawab!"

Balita berusia empat tahun dalam kamar itu menangis, terkejut atas suara keras yang mengganggu tidurnya. Mencari ibu yang selalu memberinya ketenangan.

Tangisan itu menyadarkan Siwon atas teriakannya, tapi tidak pada kemarahnnya. Menuju ranjang menggendong putri kecilnya penuh kelembutan dengan tangannya yang bergetar, karena amarah yang masih berpendar. Tak butuh waktu lama tangisan itu berhenti tergantikan sunyi senyap tanpa suara. Balita itu terdiam menyamankan diri dalam pelukan ayahnya yang lumayan lama tak ia rasakan.

"Eomma..." Cicitan lain datang dari arah pintu. Gadis kecil lain mengintip takut melihat ibunya menangis. Dia berlari memeluk Yoona yang mengulurkan kedua lengan ke arahnya.

"Harusnya kau mengingat wajah empat putrimu sebelum melakukannya. Ini bukan pertama kali kau melakukannya padaku. Apa yang ingin kau buktikan, Yoona? Kau anggap aku ini apa ha?"

Yoona tak berujar. Ia punya jawaban, tapi bibirnya terkatup menahan bungkam. Tangannya senantiasa bergerak mengelus puncak kepala si sulung yang memeluknya erat dalam ketakutan.

"Sooyaa, kau tidur bersama Jinyoung oppa, ya? Eomma harus bicara dengan Appa," ucapnya lembut memaksa senyum. Gelengan cepat Jisoo kecil memaksa Yoona tersenyum kian lebar. Menahan air mata yang kapan saja bisa menembus bendungan.

"Jinyoung!" Panggilan keras itu dengan cepat merambat mencapai telinga sang pemilik nama. "Ajak adikmu tidur bersamamu."

Siwon dan Yoona membawa Jinyoung ke rumah ini sebagai putra mereka. Namun, secara tidak resmi di mata hukum. Artinya di mata hukum, mereka tidak terikat sebagai anak-orang tua. Jinyoung bisa memutuskan kembali tinggal bersama orang tua kandungnya kapan saja, juga Siwon dan Yoona tidak berkewajiban penuh untuk membiayai Jinyoung.

Yoona menganggap Jinyoung sebagai malaikat yang menyebabkan dia akhirnya bisa mengandung bahkan melahirkan putri sulungnya, karena Yoona hamil setelah beberapa bulan Jinyoung tinggal di rumah ini. Jinyoung adalah putra dari kerabat jauh Yoona yang kebetulan lumayan kesulitan dalam perekonomian.

"Jisoo, ayo ikut Oppa."

"Aku tidak mau, Oppa. Aku mau Eomma."

"Jisoo, jangan merengek. Kau sudah besar. Ajak Lisa juga." Ucapan kesal Siwon membuat Jisoo diam melahap takut. Terpaksa ia harus pergi menuruti perintah ayahnya.

Siwon menurunkan Lisa yang semula ia gendong. Dengan rasa takut Jisoo meraih tangan mungil adik bungsunya mengajaknya keluar meninggalkan kerusuhan yang akan berujung kekerasan. Jisoo menatap Yoona ketika melewatinya menuju pintu. Sekali lagi ibunya hanya tersenyum tak berucap apa pun.

Dari luar pintu yang tertutup itu, Jinyoung, Jisoo, dan Lisa mampu mendengar dengan jelas suara benda-benda jatuh disertai teriakan ayah mereka. Tak jarang ibunya juga turut meninggikan suaranya, membuat teriakan ayahnya semakin keras terdengar.

"Aku selalu memberikan yang kau inginkan. Apa yang masih kurang?!"

"Kau bisa menceraikanku saat ini juga!"

Hampir rutin enam bulan sekali pertengkaran hebat seperti itu terjadi dalam ruang megah dan luas ini. Alasannya tergolong sama, kadang karena keuangan meski tidak pernah kekurangan atau perselingkuhan karena ketiadaan saling percaya. Di setiap pertengkaran itu, selalu Siwon yang memulainya meski kadang memang Yoona yang salah.

Sebagai yang tertua, Jinyoung berusaha sebaik mungkin memerankan perannya. Dia menuntun Jisoo dan Lisa menuju kamar di mana sudah ada dua adik perempuannya yang lain, Jennie dan Chaeyoung.

"Oppa, kenapa Unnie menangis?"

Jinyoung terdiam sejenak. Namun, senyum cerah segera menghiasi wajahnya. "Jisoo menangis? Jangan mengarang, Choi Jennie.  Semua juga tahu kalau kalau kau yang paling cengeng. Anak nakal, tapi cengeng. Tidak berguna."

Merasa mendapat dukungan dari Jinyoung, Jisoo mengusap air matanya dengan hati berteriak bangga. Jennie yang merasa terejek, memperbesar pipi mandunya.

"Tenang, Unnie! Aku selalu ada di pihakmu." Chaeyoung dengan cara bicaranya yang masih belepotan selalu tampil paling depan untuk membela ratunya. Di mata Chaeyoung, Jennie adalah kesatria tanpa rasa takut meski sering sekali menangis saat dimarahi.

"Kau sangat kecil, memangnya bisa apa?"

Chaeyoung langsung menatap Lisa setelah mendengar Jennie meremehkan ukuran tubuhnya. "Dia! Aku melawan dia. Lisa, kau ada di pihak Jisoo unnie, kan? Kau penjahat!"

Jisoo bersama senyum manis melihat Chaeyoung dan Lisa saling bergulat. Jisoo tetap teringat akan ibunya. Dia ingin membantu, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Jisoo kecil ingin segera menjadi dewasa. Supaya dia bisa membela ibunya yang di matanya tidak bersalah. Ayahnya yang salah karena sering kali memukul ibunya.

Anak-anak kecil sering beranggapan menjadi dewasa itu sebuah kebebasan. Bebas melakukan semua hal sesuai keinginan. Menganggap menjadi orang dewasa artinya mampu melakukan segalanya. Pasti tidak ada beban. Tubuh lebih besar artinya punya kekuatan lebih besar. Tidak harus bangun pagi-pagi untuk pergi sekolah. Tidak harus belajar, tidak perlu memikirkan harus peringkat satu di sekolah.

Orang yang beranjak dewasa juga menyadari, tidak ada yang lebih indah dari masa kecil. Menilai anak kecil tidak punya pikiran lain selain bermain. Lalu muncul keinginan untuk kembali ke masa-masa itu.

Seorang anak kecil ingin segera tumbuh dewasa. Setelah dewasa, ingin menjadi anak kecil lagi. Padahal dari sudut pandang lain, semua masalah mereka seharusnya pas di porsi masing-masing.

Adil tidak selalu sama rata. Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Anak kecil akan tenggelam jika ditempatkan di kolam renang untuk dewasa, kecuali jika dia memang sudah mahir berenang. Orang dewasa akan bosan jika ditempatkan di kolam renang anak-anak yang dangkal, kecuali dia memang begitu takut tenggelam dan tidak tahu cara berenang.

Tidak ada hal yang terlalu mudah untuk dijalani bagi setiap orang. Setiap orang punya tanggungan dan takaran masalahnya masing-masing.


 Setiap orang punya tanggungan dan takaran masalahnya masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini merupakan prequel dari PROBLEM. Aku rasa, ini hanya cerita ringan tentang masalah-masalah dalam keluarga Choi.

Happy Birthday Kim Jisoo 💐🌹💐✨

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang