Hampir dua tahun berlalu. Jisoo tidak merasa mereka menjadi sangat lebih baik sejauh ini. Justru hari inilah mungkin yang terburuk. Suatu kondisi yang membuat Jisoo mengingat kembali kenangan setahun yang lalu.
Pukul 11.07 malam itu, Jisoo berdiri sendiri di balkon kamar. Dia membutuhkan kesendirian itu. Bergelung dalam pikiran. Mengasumsikan kemungkinan terburuk.
Suneung. Satu kata itu sangat terkenal, juga begitu menakutkan bagi calon mahasiswa baru.
Jisoo dengar saat pintu terbuka, tapi dia bahkan terlalu enggan untuk menoleh apalagi berinteraksi. Semua ketidakpastian dan ketakutan atas ketidakjelasan ini membuatnya lelah. Kelelahan itu akan berujung pada dia yang mudah marah.
"Eomma! Jisoo minum kopi, Eomma!"
Jisoo berbalik dengan cepat. Merasa mendapat serangan asal-asalan padahal dia tidak menyerang lebih dulu. "Anj—" Jisoo merasa beruntung dia bisa menahan lidahnya. Bersandar pada pembatas balkon, saling pandang dengan Jennie.
"Kupikir kau butuh teman, jadi aku kemari." Jennie memutuskan melanjutkan ini dengan benar.
Jisoo melipat tangan, menutup diri, menunduk, hingga sengaja menghembuskan nafas agar terdengar.
"Terima kasih." Beberapa saat, hingga Jisoo merelakan matanya kembali menatap Jennie. "Kenapa kau selalu ada?"
Jennie mendekat, tapi tidak cukup dekat hingga berdiri di samping Jisoo. Dia masih takut ketinggian.
Jennie diam hanya menatap, menunggu hingga Jisoo sadar pertanyaannya kurang lengkap. Jennie akan menunggu selamanya kalau sampai Jisoo tidak membenarkan pertanyaan itu.
"Maksudku ... kenapa kau selalu masuk ke sini ketika aku merasa tidak punya kekuatan untuk menahan atau menutup diri?"
"Karena kurasa kau sudah menganggapku lebih dari sekadar setengah temanmu. Kau sedikit lebih banyak berbagi yang kau rasakan denganku. Kau pernah bilang agar memanggilmu ketika aku mungkin butuh sesuatu. Seperti seorang kakak, kau mengajakku menemui Hyuna untuk bertanggung jawab atas tindakanku. Kau tidak meninggalkanku saat makan galbitang dan saat itu aku tidak punya uang. Kau juga memberikan bagianmu padaku." Jennie tersenyum.
"Kau tidak terima saat aku menyebut diriku aib Appa dan Eomma. Kau khawatir aku bisa sangat patah hati karena cinta. Kau mulai bergosip denganku. Kau selalu membantuku menyelesaikan tugas sekolah, dan yang paling baru, kau berani mengumpat di depanku. Apa kini semua itu cukup untuk membuatmu yakin kalau kita sudah lebih dekat dari sebelumnya?"
Jisoo menggeleng merasa bingung. "Aku tidak mengerti kenapa kau membahas itu sekarang."
Dahi Jennie mengerut jadi ikut bingung. "Tadi kan kau bertanya, makanya kujawab."
"O, iya," balas Jisoo singkat.
Jisoo berpikir, lalu melanjutkan. "Menurutmu, apa yang akan terjadi besok?"
Jennie menaruh tangan di dagu, seakan tengah berpikir. "Aku dengar dari Lisa, kau tipe orang yang percaya setelah kebahagiaan besar pasti akan segera hadir kesedihan dan sebaliknya. Kalau dilihat dari suasana hatimu seharian ini, kau akan bahagia besok."
Jisoo tidak yakin dengan itu. Seharian ini dia lebih banyak di kamar. Mendengarkan lagu sedih atau menonton acara-acara yang memancing air mata. Semua suasana dan rasa cemas yang padat ini membuatnya mudah menangis. Itu terasa seperti kesedihan yang sengaja dia buat.
"Ayo minum kopi."
"Kuputuskan untuk tidak dulu malam ini."
Jennie memukul bahu Jisoo sok asik. "Hukum dirimu saat sudah jelas kalau kau gagal. Belum tentu kau tidak lolos, kenapa menghukum diri sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...