47. Throbbing Pain

551 71 16
                                    

Masalah Lisa berakhir berkat kesadaran serta rasa tahu diri Dita. Sehari setelah keputusasaan yang serasa menggorok jiwa itu, ketenangan menerpa lembut hati Lisa, semakin genap oleh pengakuan orang yang sempat Lisa anggap sebagai satu-satunya teman.

Maaf, Lisa, aku tidak ingin dirundung juga, karena itu aku melakukannya. Mereka meminta foto itu lagi, namun aku memutuskan untuk tidak memberikannya. Sekarang tidak ada yang punya lagi, kuharap. Itu yang dikatakan Dita lebih dari seminggu lalu.

Lisa harap kalimat itu bisa menyejukkan perasaannya, dan melapangkan hati untuk menerima kembali. Namun, ketenangan yang dia rasakan sudah hadir bahkan sebelum Dita mengungkapkan semua itu. Mungkin dia memaafkan, namun bagian tersulit adalah melupakan.

Saat ini Lisa sedang di rumah kakek neneknya dari pihak sang ayah. Bukan dirinya saja, tetapi juga ibu dan kedua kakaknya, sementara Siwon berkunjung hanya saat menjemput mereka. Ini hari Minggu, Siwon memang tidak berencana terlalu andil dalam persiapan itu.

Sudah dua hari ini mereka jadi lebih sering berada di rumah kakek nenek Choi, untuk membuat rencana pesta anniversary mereka. Kebanyakan orang yang sudah tua menganggap itu tidak penting. Itu hanya pelaksanaan keinginan pasangan lebih muda dalam keluarga Choi, hanya para wanita.

Lisa menatap pada Chaeyoung, yang tengah sibuk mencoret-coret buku. Bukan coretan biasa, itu sebuah sketsa. Andai Chaeyoung menggoreskan pensil dengan serius, mungkin dia akan jadi seniman dadakan.

Lisa pikir anak-anak seperti dirinya dan saudari-saudarinya tidak sesibuk atau seberguna itu di sana. Namun, beberapa orang pandai memanfaatkan peluang.

Seperti Jisoo yang meminta izin menginap semalam dengan alasan ingin lebih banyak membantu dan tidak mau ribet dengan bolak-balik, padahal sebenarnya hanya ingin tidur dengan Bona. Itu dalam persepsi Lisa sebagai pengamat dan pengagumnya.

Kemudian Jennie yang dalam dua hari ini selalu menghilang saat siang, lalu baru muncul kembali menjelang petang. Layaknya beberapa anak SMA yang punya pasangan, bisa dibilang Jennie sedang berkencan. Sangat jelas terlihat di mata Chaeyoung, walau dia tidak pernah bertanya atau diberitahu secara langsung oleh pelakunya.

"Gambarmu bagus sekali, kenapa tidak berencana jadi pelukis?"

Chaeyoung tersenyum simpul tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya. "Orang yang menggambar realistik tidak selalu berbakat. Aku hanya lebih mampu darimu."

Di lantai ruang tamu, tatapan Chaeyoung dan Lisa sama-sama tertoleh merasakan langkah seseorang mendekat.

"Chaeyoungie, Lili-ya, bereskan barang-barang kalian. Kita pulang siap-siap."

"Acaranya dimulai sore ini, Eomma?"

Chaeyoung memegang tengkuk Lisa sebagai isyarat itu tidak terlalu penting untuk dikonfirmasi lagi. Chaeyoung menatap pada ibu mereka.

"Memang Appa sudah datang?"

"Tentu saja, Chaeyoungie, Appa akan segera tiba. Eomma tidak bisa menemukan Jennie unnie, kalian tau di mana kakak kalian?"

Chaeyoung geleng-geleng, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan itu, tetapi hal lain. "Eomma dari mana saja? Padahal kemarin Jennie unnie juga begini, baru mencari sekarang?"

"Chaeyoung-ah ...." Jisoo yang kebetulan lewat bersama Bona berhenti di antara mereka. "Perlu sampai begitu?"

Chaeyoung memajukan bibir dibarengi menatap maut pada kakak sulungnya. Pertemuan mata mereka masih berlangsung selama Yoona bersama Lisa merapikan beberapa buku dan alat tulis, serta Bona menatap Jisoo seolah menunggu sesuatu terjadi.

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang