Sehari sebelumnya ....
Jisoo sibuk berkemas. Dia tahu akan seperti ini, dia sendiri yang memilih jalan ini, sehingga terjadi seperti ini, tapi dia juga yang uring-uringan sejak pagi.
Jennie mendekat, menyembunyikan keresahan. "Jisoo, kau benar-benar mau pergi?"
Jisoo mendengus. "Andai hujan badai terjadi, tapi permohonanku tidak terkabul."
Tidak ada sahutan lagi, sehingga Jisoo tertarik menatap Jennie. Memperhatikan wajah Jennie yang tidak seperti biasa.
Jisoo menepuk dahi. "Besok pengumumannya, kan?! Akhirnya kau sangat membutuhkanku."
"Tidak!" Mata Jennie melotot. "Sama sekali!"
Kedua alis Jisoo terangkat, tentu saja dia yakin kehadirannya sangat dibutuhkan Jennie.
Jisoo memeriksa jam di ponsel. Dia berdecak, sangat banyak berdecak sejak kegiatan diklat ini ditekankan.
"Aku harus pergi sekarang." Menatap Jennie, kemudian berdiri menyangkutkan tas pada pundaknya. "Ponselku mungkin akan diambil, tapi aku akan berusaha menghubungimu nanti malam. Jangan terlalu khawatir, kau sudah berusaha keras, kau yang paling tau itu." Jisoo mengulurkan tangan, agar Jennie berdiri juga.
"Kau bisa melihatnya dari mataku, kan? Seperti aku bisa melihat kekhawatiranmu di matamu. Tapi, aku akan berusaha mengatakannya." Jisoo menarik dan menghembuskan nafas panjang.
Jisoo mengusap kepala Jennie, namun karena terlalu tegang, itu jadi lebih terkesan dia sedang mengacak-acak tatanan rambut Jennie. "Aku menyayangimu." Jisoo berbalik lantas berlari.
Jennie mengikuti arah Jisoo pergi.
Dia menatap dari jauh. Melihat ibu mereka yang bingung sendiri memastikan Jisoo tidak akan kekurangan. Ayah mereka berangkat kerja lebih siang untuk mengantar Jisoo secara mandiri. Chaeyoung dan Lisa sudah berangkat sekolah, tentu saja. Sementara Jennie masih harus menunggu dalam ketidakpastian. Bahkan merasa ayah dan ibunya tidak berharap banyak padanya.
Mungkin momen seperti ini memang sudah biasa dan wajar terjadi karena Jisoo ada acara diklat yang mengharuskan menginap di luar selama semalam. Namun, suasana hati Jennie mengatakan hal lain. Dia melihat semua orang mengerumuni Jisoo, sedangkan dia ditinggalkan.
Hati dan pikiran Jennie mereka-reka perasaan yang tidak sebenarnya, yang sesungguhnya jauh dari perkiraannya. Merasa Jisoo mendapatkan semua itu, sudah pasti karena berhasil masuk universitas impian banyak orang.
Jennie mengikuti sampai di wajah rumah. Berdiri di samping ibunya. Memperhatikan Jisoo yang sudah di mobil.
Ketika melihat ayahnya pagi ini, Jennie hanya bisa ingat satu hal. Jennie, kita akan makan malam bersama setelah kau lolos masuk ujian universitas besok. Appa akan mengajak Halmeoni dan Harabeoji juga.
Senyum Jennie membalas tipis lambaian pelan tangan Jisoo juga senyum lebih lebar darinya.
Jennie menoleh pada ibunya. "Eomma, bagaimana kalau aku tidak lolos?"
"Kau pasti lolos, Sayang." Yoona menyentuh singkat pipi Jennie, lalu masuk ke dalam.
Jennie menatap kepergian ibunya. "Tapi aku bertanya bagaimana kalau tidak." Keluhan lirih Jennie hanya untuk diri sendiri.
Malam harinya, di sisi pinggir kota, Jisoo menatap langit-langit aula sederhana itu, tempatnya tidur malam ini. Di lantai beralas kantong tidur. Para pengurus UKM ini mengatakan semua itu untuk mempererat hubungan keanggotaan di antara mereka.
[UKM: Unit Kegiatan Mahasiswa]
Entahlah. Mempererat hubungan keanggotaan dengan membawa mereka jauh dari keramaian, ke tempat jarang perumahan dan seperti hutan ini, serta menjauhkan mereka dari ponsel memang terdengar masuk akal, namun tetap saja Jisoo merasa tidak terhubung dengan siapa pun, bahkan anggota kelompoknya sendiri. Mungkin hanya dia yang merasa ini tidak ada gunanya dan mereka melakukan hal yang sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...