41. Flame

582 93 4
                                    

"Giliranmu, cepat, cepat."

Tangan Lisa menggenggam mic itu ragu-ragu. Lisa sudah mencoba, tetapi dia menyanyi dengan nada kaku, membuat suara yang keluar datar.

Yang membuat Lisa bahagia adalah melihat Dita menertawainya. Mungkin Lisa akan kesal kalau Chaeyoung yang menertawakan, namun cara Lisa memandang keadaan ini saat ini, membuat situasinya jadi terkesan berbeda. Dalam hal ini, Lisa merasa dianggap lucu oleh orang lain, dan itu menyenangkan.

Setelah merasa tidak berhasil memperbaiki nada suaranya, Lisa berhenti bernyanyi. Dia hanya nyengir melihat Dita masih tertawa.

"Ini minum dulu. Siapa tau suaramu jadi lebih baik dengan ajaib."

Lisa menerima sekaleng soda yang sudah terbuka itu. Lehernya sedikit mengkerut ketika Dita mengalungkan tangannya di sana. Lisa hanya tidak terbiasa dengan sentuhan fisik yang tiba-tiba seperti ini. Dengan keluarganya saja jarang, apalagi ini dengan Dita yang tidak termasuk ke dalam anggota keluarga.

Bukan berarti Lisa merasa tidak nyaman. Namun, Lisa menghargai sentuhan fisik sebagai sesuatu yang luar biasa, artinya kedekatan mereka tidak abal-abal. Meski beberapa orang menilai itu sebagai sesuatu yang sangat normal dan biasa.

Lisa meminum soda itu sebagai bentuk penetralan rasa gugupnya. Lisa menatap kaleng soda itu. Dia kenal mereknya, dan pernah meminumnya. Namun, yang ini terasa lebih pekat dari biasanya.

"Apa ini?" Lisa menatap Dita murni dengan tatapan bingung.

Lisa melihat perubahan warna ekspresi wajah Dita yang perlahan. Senyumnya menghilang dengan kehadiran raut menyesal dan kasihan.

Semua itu tidak jelas sekarang, akibat dari pandangannya yang terlalu berputar dan berkunang. Suara-suara di sekitar juga jadi bergema membuat Lisa semakin pusing, bahkan Dita yang berdiri dan mengucapkan maaf juga tidak jelas.

Dia harus pulang. Itu satu-satunya yang Lisa khawatirkan. Namun, tidak cukup kuat untuk menahan matanya tetap terbuka.













_______________________



Sekarang jadi Jennie yang gugup berjalan berdampingan dengan Jisoo. Jisoo selalu serius, jarang atau bahkan tidak pernah membahas sesuatu yang sangat ringan sampai tidak ada bobotnya, juga tidak sering basa-basi. Membuat Jennie yang mau mengajak bicara pun harus mikir dulu sekarang.

"Jennie ...."

"Hmm?" Jennie menyahut sekaligus menengok cepat sebab tidak menduga-duga kalau Jisoo yang pertama memecah keheningan perjalanan mereka dari gerbang mansion.

Jisoo menatap Jennie yang sampai menghentikan langkah ketika dia hanya memanggilnya.

"Sambil berjalan saja." Jisoo tidak ingin menatap mata Jennie, itu sebabnya.

"Kau pernah dirundung saat di asrama, sangat parah? Aku hanya ... hanya ... tidak apa-apa kalau kau tidak mau membicarakannya." Jisoo merasa melakukan kesalahan ketika Jennie tidak kunjung bersuara.

Jennie menengok ke sekitar, memastikan tidak ada orang lain di halaman mansion.

"M-maaf, lupakan saja pertanyaanku kalau memang--"

"Benar-benar ingin tau atau hanya penasaran?"

Kelamaan kalau menunggu jawaban dari kepala Jisoo yang rumit. Jennie melepas jas sekolah sekaligus beberapa kancing kemejanya.

"Kau mau apa?"

"Melecehkanmu," sahut Jennie sewot.

Entah sudah ke berapa kali pikiran Jisoo yakin keberanian Jennie membuat anak itu jadi terlihat sedikit gila dari sudut pandangnya.

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang