Dari menghadap rak buku, Yesung berbalik menemukan Lisa di depan mejanya, sedang menatap ke arahnya.
"Oo, Lisa?" Yesung memasukkan ponsel ke dalam saku.
Lisa mengalihkan mata seiring langkah Yesung semakin dekat. Menaruh beberapa dokumen dalam dekapannya ke meja.
"Appa memintaku mengantarkan ini pada Samchon." Lisa menyisihkan rambut ke belakang telinga. "M-maaf, Samchon. Aku tidak mengetuk karena Appa bilang Samchon mungkin tidak ada di kantor." Tangan Lisa menggenggam menyembunyikan rasa gugup mungkin juga takut.
Merasa Yesung terus memperhatikan, sementara Lisa tidak memiliki apa pun yang menahannya menetap, dia memutuskan berputar arah untuk keluar.
"Lisa-ya ...."
Lisa berhenti, meremat semakin erat ujung bawah bajunya. Memejam kuat menggigit bibir hingga nafasnya pun seakan ikut tertekan.
Bagaimana pun, Lisa memutuskan kembali menghadap pamannya. "Iya, Samchon?"
Yesung menempati kursinya. "Duduklah."
"A-Appa pasti menungguku——"
"Duduk di sini sebentar."
"Maaf, Samchon, tapi Appa pasti mencariku kalau aku tidak cepat ke ruangannya." Lisa tidak menunggu atau mengharapkan penahanan apa pun lagi dari Yesung.
Langkahnya tertuntun cepat ke pintu.
"Lisa-ya, kau tidak dengar apa pun kan?"
Kaki Lisa kembali terpaku bahkan sebelum tangannya mencapai pintu. Merasakan Yesung mungkin mendekat sehingga dia berbalik.
Lisa mendongak menatap wajah Yesung karena jarak mereka yang tidak terlalu jauh. "Tidak, Samchon. Aku tidak dengar apa pun."
"Kau tidak ingin ada keributan sehingga hubungan keluarga kita jadi renggang dan mungkin saja semua bisa terbuka, kan? Ya, termasuk yang itu. Yang di rumahmu. Kau tidak mau, kan? Samchon sudah memperhitungkannya dengan tepat, ini tidak akan membawa kerugian sangat besar pada ayahmu. Jadi, bisakah kau mengabaikan dan menutupi yang ini juga?"
Bibir Lisa menyatu lebih rapat. Wajahnya menunduk menatap lantai. Menahan dalam-dalam air matanya.
"Samchon orang yang murah hati. Samchon pasti akan mengajak ibumu dipandang buruk juga oleh ayahmu. Kau bisa pura-pura tidak dengar demi ibumu, kan? Seingat Samchon, ayahmu sangat sensitif ketika itu menyangkut ibumu. Samchon tidak memiliki riwayat apa pun yang bisa membuat ayahmu meragukan Samchon, tapi mungkin berbeda dengan ibumu——"
Saat itu Lisa merasa tidak sanggup membalas dengan apa pun selain menggulirkan langkah keluar dari sana.
Saat ini dia sedang di meja makan rumahnya.
"Tidak, tidak. Kita lakukan lusa malam. Ya, di pabrik Glicefood yang di Cheongdam-dong. Lakukan seperti biasa. Kita bertemu di sana. Aku yang akan jelaskan pada orang-orang pabriknya. Siapkan saja truknya. Penjualan perusahaanku agak anjlok, suplai bebas biaya seperti ini selalu sangat membantu."
Ketika mengingat itu, Lisa tidak bisa memikirkan siapa pun selain seseorang yang menguasai penuh bola matanya kini. Pemimpin perusahaan cabang, putri sulung keluarga ini, salah satu orang yang lebih dipercaya ayah mereka, harapan utama Lisa, Choi Jisoo.
Jisoo mengangkat wajah, merasa semua orang telah menyelesaikan makan malam mereka. Memandang kursi Jennie yang kosong.
"Jennie belum pulang?" Jisoo menatap ibunya meminta jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...