44. Heat

616 78 3
                                    

Lisa membaca buku di kelas. Dia masih belum paham kenapa Dita bertingkah aneh semalam, dan sekarang anak itu tidak masuk. Alasan sakit itu sedikit klasik sampai Lisa tidak percaya kalau itu benar-benar alasannya.

Lisa sudah tidak mempermasalahkan atau berpikir lebih jauh tentang itu. Mengingat kejadian semalam, Lisa hanya dapat melihat momen ketika dia berpelukan dengan ketiga kakaknya. Meski kini sedang menatap buku sejarah di mejanya, bibir Lisa melukis senyuman.

"Hai, Lisa, sudah lama kita tidak saling menyapa. Apa kau meremehkanku?"

Lisa mendongak tetapi tidak benar-benar menatapnya. Mengukur nada dan suaranya agar pas saat keluar.

"Aku tidak ingin mengganggumu, S-saeron-ah."

"Kau tau kenapa akan mudah sekali menang darimu?"

Tidak ada balasan yang keluar dari bibir Lisa. Ketika Saeron datang padanya, anak itu pasti juga membawa masalah untuknya.

"Karena kau tidak seperti kembaranmu. Selain tolol, kau juga seorang pengecut, pecundang."

Lisa menunduk kembali pada bukunya. Lisa pikir dunia tidak butuh tambahan orang-orang berhati buruk. Dia mencoba seperti itu. Kalau dengan diam bisa tidak memperburuk masalah, Lisa akan selalu begitu. Hatinya memang mudah terluka, tetapi tidak perlu membuat orang merasakan hal sama, karena Lisa paham betapa sakitnya.

"Ini salah satunya. Sikap sok diammu ini sangat menjengkelkan. Tapi, diamlah selagi kau bisa. Kita lihat, apa kau masih bisa diam nanti."

"Apa yang akan kau lakukan? Saeron, aku sungguh minta maaf atas nama Chaeyoung."

"Lisa, aku hanya punya masalah denganmu! Penghargaan lulusan terbaik itu harusnya dipajang di rumahku. Kau tidak salah, tapi aku menyalahkanmu, karena itu terjadi gara-gara kau ada. Orang sepertimu ini hanya akan menjadi sampah dan beban keluarga."

"Aku tidak akan begitu."

Saeron tersenyum mengejek, jelas sekali hatinya yang geram. "Milikmu cukup rata, ya."

Itu menarik wajah Lisa untuk kembali menatap Saeron. "Apa maksudmu?"

Saeron menatap ponselnya, menekan di sana dan di sini. "Lihatlah kalau tidak percaya."

Lisa mengangkat ponselnya dari meja ketika bunyi notifikasi terdengar. Dia membuka kolom chat-nya dengan Saeron. Jari Lisa ragu untuk mengunduh foto yang Saeron kirim padanya. Bagaimana pun tampaknya ketika foto itu terlihat jelas nanti, Lisa yakin itu bukan foto yang pantas dilihat banyak orang.

"Kenapa masih diam? Kau tidak ingin melihatnya sebelum orang lain? Haruskah kusebar dulu?"

"Jangan." Lisa mengunduh foto itu.
Setiap detiknya semakin tidak tahan memandangnya. Lisa menaruh ponselnya di meja hingga menimbulkan suara gebrakan.

Terasa seperti kepalanya dilemparkan ke sana dan ke sini. Ayah dan ibunya akan sangat malu kalau sampai melihat ini. Hanya kehancuran yang akan sampai padanya ketika foto itu tersebar. Orang-orang akan membuat spekulasi yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Dia akan tenggelam, suaranya tidak akan pernah didengar. Pikiran adalah hal yang sangat menyeramkan.

Lisa berdiri hingga mejanya berdecit. Mendorong Saeron sampai gadis itu jatuh terduduk.

Dalam kebingungan dan ketakutan yang masih menguasai, mata Lisa berkeliling menatap sekitarnya. Semua orang melihat ke arahnya. Mata mereka menyalahkannya, menganggapnya aneh.

Saeron berdiri, menatap lebih tajam wajah Lisa. "Sebaiknya kau temui aku di lapangan basket sepulang sekolah. Mengerti?"

Lisa menyambar ponsel di mejanya, lantas keluar dari kelas.

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang