Pagi yang melelahkan. Rasanya lemas, bukan lemas yang seperti karena kurang tidur, Lisa hanya malas saja menghadiri acara yang mengundang keramaian. Apalagi hubungan ayah dan ibunya juga sedang terlihat jelas keretakannya. Memikirkannya saja sudah membuat Lisa kehabisan tenaga.
Lisa menyibakkan selimutnya sehingga rasa dingin lembut menyapa kulitnya yang tertutup pakaian serba panjang. Lisa langsung ingat, lalu menoleh ke samping. Namun, Jisoo sudah tidak ada di sana. Berarti Lisa sempat terlelap hingga tidak menyadari kepergian Jisoo dari kamarnya.
"Haish! Kenapa sekolah harus mengadakan hal seperti ini?!" Suara Lisa memang tidak seperti teriakan, tapi dipenuhi rasa kesal. "Kalau mau lulus ya sudah lulus sajalah!" Lisa benar-benar merasa seperti ada sesuatu yang memenuhi dadanya sehingga terasa sulit bernafas. Ini bukan tentang dirinya yang mempunyai riwayat penyakit asma, tapi Lisa rasa hal seperti ini memang sering dirasakan oleh orang yang banyak prasangka buruk tentang yang akan terjadi.
Jennie tiba di kamar Lisa bagai mentari cerah yang baru saja terbit. Jennie selalu bersemangat dalam perihal mendikte orang lain untuk melakukan apa. Lisa yang sering tidak tahu apa yang harus dilakukan pasti sangat membutuhkannya. Jennie tentu merasa bangga.
"Lisa, kau bahkan belum mandi? Mandi memang tidak penting, tapi kau masih baru bangun tidur? Ini tidak terlihat seperti Lisa."
"Eomma dan Appa tidak akan datang kan nanti, Unnie? Aku juga tidak perlu datanglah, ya."
"Aku akan memilihkan baju untukmu. Eomma dan Appa sudah menunggu di bawah."
Lisa sungguh tidak ingin pergi. Acara itu hanya akan membuat dadanya serasa ditekan dan hidupnya jadi tidak tenang. Padahal dia datang atau tidak juga tidak akan menimbulkan dampak besar bagi acara itu. Apalagi tema pakaiannya bebas. Pasti semua orang akan perang outfit nanti.
"Lisa..." Tatapan Jennie berarti suruhan agar Lisa bisa lebih cepat dan bukannya malah melamun.
"Aku takut, Unnie. Bagaimana kalau aku sampai mendapat peringkat di luar tiga besar? Segalanya pasti akan semakin memburuk, terlebih hubungan Appa dan Eomma."
Jennie cukup heran Lisa bisa mengkhawatirkan hal itu. "Kau itu Choi Lisa, bukan Choi Jennie atau Choi Chaeyoung. Angkat sedikit rasa percaya dirimu."
Nafas Lisa berhembus pasrah saat Jennie pergi ke ruang gantinya untuk memilihkan pakaian. Lisa mendekati tirai kamarnya. Menarik perlahan kain yang menutupi jendela kamar. Lisa tidak mendapat apa yang dia harapkan, yaitu langit yang mendung atau hujan lebat. Sebaliknya dia mendapati langit biru cerah dan kilauan sinar matahari.
Di lain kamar, Jisoo baru selesai ganti baju saat mendengar suara Siwon dari arah pintu. Bibir Jisoo tidak mengeluh sedikit pun meski dalam hati sedikit keberatan karena pada akhirnya dia memutuskan membuka pintu.
Semua ingatan di amour corner itu tidak akan pernah lepas dari memori otak Jisoo. Dia tidak akan lupa meski otaknya terlepas dari tengkoraknya. Maaf saja, tapi Jisoo dengan sadar membenci ayahnya, wanita simpanan ayahnya, bahkan Jinyoung meski Jinyoung tidak tahu apa-apa.
Jisoo tahu, memang tidak boleh membenci orang tua sendiri. Kebenciannya memang tidak bisa dibenarkan secara sempurna, tapi dia memang tidak butuh kebenaran yang sempurna itu. Lagi pula tidak ada manusia yang benar sepenuhnya.
Saat ini, Jisoo bahkan tidak butuh dengar permintaan maaf dari Siwon, baik itu untuk perselingkuhan Siwon atau tamparan yang Siwon layangkan waktu itu.
Orang bilang, memaafkan bukan berarti melupakan. Namun, Jisoo bingung, bagaimana itu bisa terjadi? Jika tidak bisa melupakan, berarti pasti akan timbul sakit hati meski sedikit saat mengingatnya kembali. Apa itu bisa disebut telah benar-benar memaafkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...