Jisoo melempar satu kantong plastik besar penuh dengan berbagai macam kopi kemasan ke kursi mobil di samping kemudi.
"Lihat! Aku beli banyak kopi. Aku akan minum kopi setiap hari. Aku akan menyimpannya di kulkas dapur. Aku akan beli lagi kalau semua dibuang. Aku akan minum kopi setiap hari. Aku akan beli mesin kopi!"
"Aku akan minum alkohol. Aku akan beli apartemen. Aku tidak akan pulang malam ini." Jisoo menghentikan peperangan yang terjadi dalam hatinya ketika mendengar jendela mobilnya diketuk.
Mengenali wajah pria itu, Jisoo menurunkan kaca mobil.
"Anda di sini? Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku juga dari dalam." Jempol Seokjin tidak tepat menunjuk supermarket, tapi itulah yang dia maksud. "Aku ke sini hanya untuk menyapa."
Jisoo mengangguk samar. "Apa ibu Irene sudah membaik?"
"Belum begitu baik, tapi lebih baik dari kemarin."
Keheningan singkat yang hanya terisi mereka saling tersenyum. Itu mungkin biasa saja, tapi membuat Jisoo menahan nafas tidak tahu harus apa.
"Kalau begitu, selamat malam."
Senyum Jisoo membalas hingga Seokjin berlalu. "Sepertinya aku semakin tidak normal." Jisoo mengusap dadanya agar bernafas lebih normal, lalu kembali memandang arah Seokjin menjauh. "Lihat itu, apa tidak bisa Jinyoung jadi sepertinya?"
"Sebentar ...." Terpikir sesuatu, Jisoo keluar dari mobil menuju mobil Seokjin. "Seokjin-ssi!" Jisoo mendekat dengan setengah berlari.
"Anda punya kartu kredit?" Jisoo menangkap wajah Seokjin yang terlihat bimbang. "Kumohon jangan salah paham dulu. Aku tidak ingin meminjamnya." Jisoo mengeluarkan kartu kredit miliknya. "Aku ingin bertukar denganmu."
Keheningan, untuk itu Jisoo menyambung, "Hanya sementara." Masih berbalas hening. "Aneh memintamu percaya padaku, tapi aku tidak berniat menipu. Aku teman Irene, kau bisa bertanya alamat rumahku padanya, kau juga akan memegang kartu kredit milikku. Punyaku tanpa limit. Bisakah?"
"Bagaimana kalau aku yang membawa kabur kartu kreditmu?"
Jisoo tersenyum setengah tertawa. "Itu tidak mungkin."
Seokjin tersenyum menatap Jisoo lebih saksama. "Kenapa tidak?"
"Kau punya Hyuna yang harus dijaga. Dan selalu menemani Irene di masa sulitnya. Kurasa tidak masuk akal seseorang seperti itu melarikan diri dengan kartu kredit orang lain." Jisoo tertawa kikuk. "Lagi pula itu tidak ada gunanya juga. Aku bisa langsung memblokir kartunya."
Seokjin mengangguk-angguk tersenyum seolah baru paham, dalam hati menertawai dirinya sendiri. "Iya juga ya."
Jisoo ragu-ragu bertanya, "Mmm, milikmu ... berapa limitnya? Aku tidak meremehkan. Aku bertanya hanya untuk memastikan."
____________________
Jennie mendekat ke samping ibunya yang berdiri di teras mansion.
Yoona memandang sekilas, mengetahui itu putri keduanya. "Kakakmu tidak membawa kunci. Kemarin malam Eomma menemukan kuncinya di dekat pintu. Eomma lupa memberikannya."
Jennie mengangguk-angguk. Menekan bahu ibunya untuk memeluk dari samping. "Jisoo unnie bisa menekan belnya."
Yoona menyerahkan harapannya. "Dia tidak akan pulang." Mata Yoona lebih mengkilap sebab air mata. "Apa Eomma harus bertanya bagaimana dia menyelesaikan masalah itu? Eomma tidak bertanya karena dia pasti bisa mengatasinya. Kenapa kakakmu bisa berpikir Eomma tidak pernah menyayanginya? Tidak pernah memahaminya? Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi seperti mereka, mereka ingin anak-anaknya bisa lebih baik dari mereka. Jinyoung oppa itu kakak kalian. Eomma tidak ingin ada permusuhan di antara kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...