Siang itu, senyum Jennie membalas tatapan dalam ibunya yang sejak kesadarannya Jennie lihat selalu berselaput air mata.
Yoona menghapus air mata yang masih hampir menetes. "Jennie-ya, masih terasa sakit? Bagian mana yang sangat sakit, Sayang? Bagaimana perasaanmu? Coba tatap mata Eomma." Yoona mencium begitu dalam pipi putrinya. Dia bisa melihat lagi rona di wajah Jennie, wajah putrinya yang sebelum ini terlihat tak berjiwa.
"Aku sudah lebih baik, Eomma."
Belum dua puluh empat jam sejak Jennie sadar. Semalam tidak banyak yang bisa dia lakukan, karena dia secara sadar merasakan sakit dan hanya itu.
Pagi ini, beberapa alat medis penunjang kehidupannya selama enam hari terakhir sudah dilepas. Jennie belum merasa normal sepenuhnya. Lengan dan kaki kanannya masih dibalut perban, begitu juga kepalanya. Jennie jadi takut membayangkan wajahnya di cermin.
Jennie mengalihkan perhatian pada kedua adiknya yang berdiri di sampingnya. "Jarang sekali melihat Chaeyoung dan Lisa bersebelahan dengan tenang."
Lisa menggeleng tidak setuju. "Kalau aku tidak tenang, pasti itu karena Chaeyoung."
Bibir Chaeyoung tersenyum tipis dengan hati yang sewot. "Aku heran, Eomma marah ketika Jennie unnie tidak memanggil Jisoo unnie dengan Unnie, tapi saat Lisa melakukan itu padaku Eomma terima-terima saja."
Mata Jennie menyipit sebab senyumnya yang lebar.
Yoona membelai lembut rambut Chaeyoung. "Karena kalian kembar."
Bibir Chaeyoung lebih mengerucut. Bagaimana pun tetap dia lahir lebih dulu dari Lisa. Itu tidak adil. Chaeyoung merasa dituntut menjadi kakak bagi Lisa, tapi tidak mendapat kehormatan itu dari Lisa.
"Tapi ...." Jennie memandang sekeliling. "Aku tidak melihat Jisoo unnie."
Tarikan nafas Chaeyoung terdengar. Sebelah tangannya menutup mulut dengan mata membola. "Jennie unnie, kepalamu benar-benar baik-baik saja?"
Tidak ada suara, hanya semua tatapan mengarah pada Chaeyoung.
Menyadari itu Chaeyoung segera berwajah datar. "Jennie unnie memanggil Unnie dengan sukarela." Chaeyoung menekankan kata panggilan itu. "Kurasa dia sudah bertemu Tuhan sebentar sebelum kembali ke sini."
Lisa mendorong kepala belakang Chaeyoung yang menurutnya selalu bicara sembarangan.
"Yak!" Chaeyoung berteriak tepat di depan wajah Lisa, kemudian tatapan tajamnya sampai kepada ibu mereka. "Eomma tidak lihat?!"
Yoona berdiri. "Eomma akan mencari Jisoo unnie." Yoona menyempatkan untuk sekali lagi mengelus kepala Chaeyoung.
Tatapan Chaeyoung mengikuti arah kepergian ibunya, nafasnya keluar masuk berapi-api. Pintunya kembali tertutup. Dia tetap tidak dapat yang dia inginkan.
"Eomma!" Pada akhirnya Chaeyoung hanya bisa menyerah.
Ekspresi Chaeyoung berubah cepat. Ketegapan tubuhnya melemah berikut rasa kesalnya. "Tapi, aku pasti akan sedih sekali kalau jadi Jisoo unnie."
"Kenapa?" Jennie bereaksi dengan cepat.
Sekali lagi nafas berat Chaeyoung terdengar.
"Aku bisa memahaminya." Dari Chaeyoung, Lisa mengalihkan mata pada kakak keduanya. "Jisoo unnie sangat berusaha membuat Unnie bangun. Dia sembunyi-sembunyi mengajak Taehyung oppa ke sini. Jisoo unnie juga merencanakan makan malam bersama kita semalam. Dan juga, waktu itu, karena Chaeyoung memukul Jisoo unnie, detak jantung Jennie unnie meningkat di hari pertama misi kita. Jisoo unnie memang teriak-teriak setiap kali Chaeyoung memukul, tapi aku yakin dia sebenarnya terima-terima saja. Tapi Jennie unnie bangun saat Jisoo unnie mau keluar." Lisa menunduk, mengangguk-angguk merasa prihatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...