Sore itu, Jisoo mengadakan rapat dadakan dengan tim audit.
"Sajangnim, beberapa klien mengeluhkan peningkatan biaya tidak masuk akal pada pendistribusian terakhir. Ternyata ada perbedaan antara faktur yang kita keluarkan dan yang mereka terima."
[Faktur: Tagihan, invoice]
Alis Jisoo hampir menyatu. "Kenapa faktur yang kita miliki bisa berbeda dengan yang diterima klien?" Gerakan tangannya tidak santai membalik setiap lembar dokumen itu. "Tapi dalam laporan keuangan kita, perusahaan menerima sejumlah dana yang sesuai dengan faktur asli kita." Jisoo mulai memahami semuanya. Dia menutup dokumen itu.
Jisoo mengangkat wajah. "Rapat selesai. Aku akan mengkomunisasikan ini dengan manajer keuangan. Terima kasih atas kerja keras kalian."
Hembusan nafas Jisoo terdengar ketika semua orang meninggalkan ruangan hanya tersisa dia dan sekretaris pribadinya.
"Hong Jeumin, minta manajer keuangan kemari."
Jeumin sebagai sekretaris membungkuk menuruti itu.
Jisoo menunggu tidak terlalu lama. Wajah yang begitu familiar baginya sampai di sana.
"Duduklah, Oppa." Jisoo mempersilakan Jinyoung yang baru datang.
"Jeumin, kau boleh keluar." Jisoo menunggu hingga dia hanya berdua dengan Jinyoung.
"Ada apa?" Jinyoung juga tidak berpura-pura merendah. Dalam kasta keluarga, seharusnya Jisoo yang menghormatinya. Namun, Jinyoung tidak bisa melihat itu di wajah Jisoo saat ini.
Mereka tidak berpura-pura pada satu sama lain. Mereka tahu permusuhan di antara mereka.
"Beberapa klien mengeluhkan peningkatan biaya dalam distribusi terakhir, tapi dalam laporan keuangan, pemasukan perusahaan kurang dari yang mereka laporkan. Ke mana sisa uangnya?"
"Kau pikir aku yang menelan uang itu?"
"Aku tidak hanya berpikir, tapi membawa buktinya." Jisoo berdiri melempar dokumen itu tepat di meja depan Jinyoung. "Kau membuat faktur ganda, lalu memberikan yang palsu pada mereka. Mau mengelak? Kita bisa membawa ini ke kepolisian, lalu mereka akan memeriksa rekening koranmu."
Jinyoung ikut berdiri melemparkan senyum. "Memang aku yang lakukan, lalu kau akan apa?"
Mata Jisoo menusuk memandangnya. "Kalau bukan untukku, seharusnya kau bekerja dengan jujur demi Appa dan Eomma. Kau itu berhutang budi pada ayah dan ibuku."
"Aku? Berhutang budi pada hubungan buatan ini? Apa saat bayi aku meminta dirawat mereka? Ayah dan ibumu hanya menjalankan tanggung jawab mereka sebagai orang tua angkat. Memangnya apa yang aku dapatkan selama ini? Kalau mereka menganggapku bagian dari keluarga Choi, seharusnya aku yang menempati posisimu sekarang."
Jisoo memejamkan mata, kedua tangannya mengepal menahan diri. "Kau diturunkan dari jabatan manajer keuangan. Kau akan bertukar posisi dengan Irene."
"Kita lihat, apa itu bisa terjadi nanti. Tidak semudah itu menjatuhkanku."
Jisoo tahu betul arti kalimat itu.
Namun, hari itu Jisoo tetap pulang ke rumah, bahkan sebelum jam makan malam. Dia sudah sampai rumah, sebelum ponselnya berdering karena panggilan dari ibunya.
Dengan rasa lelah yang semakin bertambah, Jisoo melenggang pergi tanpa menyapa Jinyoung yang tanpa rasa malu kembali datang. Ia sudah muak melihat wajah dengan keramahan palsu itu. Jisoo yakin ibunya tidak akan melepaskannya begitu saja.
Jisoo melempar tas tangan itu ke kursi meja makan. Langkah gontainya tertuntun menuju lemari pendingin, meraih sekaleng soda lalu menutup pintu kulkas dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...