48. Perceptions

427 72 8
                                    

"Jennie-ya, kau sungguh tidak akan pulang?" Bona masih bertahan, meski Jennie mengabaikan dan Jisoo sudah menghilang.

"Pakai otakmu. Kau akan membuat masalah untuk dirimu dan kakakmu, bahkan mungkin ibumu. Tau sendiri sangat mudah menyulut amarah ayahmu. Kebanyakan pertengkaran orang tua disebabkan oleh anak dengan pikiran pendek sepertimu."

Mata runcing Jennie menatap sesak pada Bona, yang menurutnya tidak pantas membahas apa pun tentang keluarganya.

"Yang akan dimarahi itu aku, urus saja urusanmu. Sampaikan yang kukatakan ini pada Jisoo juga."

Bona membalas dengan tatapan lebih panas. Meninggalkannya setelah sengaja membuat dengusan kasar.

Jennie kembali ke tempat Taehyung menanti. Menyisakan ruang hati dan relung pikirannya cukup untuk itu.









___________________


Bona masih menunggu, hingga Jisoo mungkin akan menjelaskan sesuatu.

Mereka masih di taman yang sama, walau kini berada di titik berbeda dari sebelumnya, jauh dari keberadaan Taehyung dan Jennie.

"Pulanglah duluan. Aku harus terlambat." Jisoo berujar lelah.

"Lalu apa yang harus kukatakan saat Yoona imo bertanya padaku? Pulanglah dan katakan yang sejujurnya pada Imo. Kalau tidak, aku juga harus terlambat bersamamu."

Jisoo kembali terdiam. Tidak perlu berpikir ulang, sadar dirinya memang menilai lebih mudah menghindar dan lari dari masalah.

"Satu-satunya cara memang harus berbohong."

"Kau hanya akan menunda kemarahan ibumu. Pada akhirnya, Imo akan tetap marah. Kenapa Jennie sangat tidak pengertian? Dia bersikap semaunya, kenapa kau merasa harus bertanggung jawab?"

Jisoo tetap berwajah hambar dengan tatapan lebih bernyawa. "Kau harus mencoba rasanya punya saudara. Saat itu kau akan tau rasanya tidak suka seseorang, tapi tetap mencintai mereka."

"Mungkin inilah sebabnya aku tidak punya adik. Tidak akan sudi aku menanggung masalah mereka, apalagi kalau adikku terlalu menggemaskan seperti Jennie. Sangat menggemaskan sampai ingin kusentuh bola matanya."

"Yak ...." Jisoo memukul bahu Bona. "Jangan begitu."

"Kau tersinggung?" Bona merangkul pundak Jisoo, menggiringnya pergi dari tempat itu. "Seharusnya kau katakan kalimat indahmu itu pada mereka."

Jisoo memasuki rumah dalam langkah yang tenang, meski di kepala sudah tertata sepintas kebohongan. Lagi pula kebohongan ini bukan tentangnya dan bukan untuknya. Bukan apa-apa, hanya ketidakjujuran kali ini terasa sedikit lebih benar.

Seperti yang Jisoo harapkan, dia datang di saat yang tepat. Ketika semua orang sedang sibuk dan tergesa.

Jisoo menatap ponselnya yang kembali berdering. Kembali mengabaikan panggilan itu, dia naik ke atas.

"Sooyaa, kenapa tidak dijawab? Mana adikmu?"

"Begini, Eomma ...." Jisoo memberi jeda dengan sengaja, memberikan kesempatan pada ibunya agar lebih tenang di antara segala ketergesa-gesaan dan kebingungan yang ada. "Aku juga berusaha menghubungi Jennie, tapi tidak dijawab, jadi aku menelepon Hyuna. Intinya, Jennie dan beberapa teman sekelasnya harus latihan drama untuk persiapan penampilan saat perayaan ulang tahun sekolah."

"Begitukah? Kau sempat bertemu dengannya? Adikmu mungkin belum makan. Coba kau telepon Hyuna lagi, Eomma ingin bicara dengan Nini."

Itu membuat Jisoo merasa bersalah sekarang. Wajah ibunya kini dipenuhi kemurnian rasa percaya dan khawatir.

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang