Jisoo tiba di rumah saat senja. Bersama tanghulu dan langkah gontai serta hati yang letih. Meski ingin mencapai kamar dengan cepat, serasa dia tidak punya tenaga sebesar itu untuk melangkah lebih cepat.
Sudah pasti Yoona menunggunya dengan khawatir di ruang tamu. Yoona baru saja duduk saat melihat putri sulungnya yang akhirnya ingat rumah.
Jisoo berusaha melewati Yoona begitu saja. Namun, sudut matanya menangkap ibunya yang segera berdiri. Jisoo harap Yoona akan memarahinya. Sungguh. Mengingat sikapnya selama ini pada Yoona dan seolah lebih berpihak pada Siwon, Jisoo ingin mendengar nada tinggi dari Yoona. Meski amarah Yoona mungkin bukan karena sikap Jisoo selama ini, tapi setidaknya ada sedikit rasa bersalahnya yang berkurang.
"Apa tidak bisa izin dulu dengan jelas sebelum pergi? Katanya hanya sampai siang, dan kenapa menyuruh Ahjussi pulang duluan? Apa terjadi sesuatu?"
Jisoo hampir saja meloloskan air matanya saat Yoona memegang bahunya dengan khawatir.
"Aku hanya ke rumah Halmeoni, bertemu Bona."
Mana mungkin Yoona percaya ketika Jisoo saja berucap sambil memalingkan mata. "Apa tidak bisa menggunakan ponsel Bona untuk menghubungi Eomma?"
Kenapa ibunya bertanya selembut itu sekarang? Membuat rasa bersalah Jisoo memuncak semakin tajam. "Eomma, aku sedang lelah sekali. Aku ingin mandi dulu." Jisoo pergi begitu saja. Dia takut menciptakan masalah lebih besar. Jika sampai dia menangis di depan ibunya, masalah akan berbuntut panjang. Yoona tidak akan berhenti bertanya sampai Jisoo mengatakan kejujuran.
Jisoo berpapasan dengan Jennie di tangga, sama-sama hendak ke lantai dua. Jennie tak percaya Jisoo melewatinya begitu saja. Setidaknya Jisoo bisa menyapa meski terpaksa, untuk menunjukkan Jennie seorang adik dan Jisoo adalah kakaknya.
Ketika tangga berakhir, Jennie mempercepat langkah berusaha mendahului Jisoo. "Yak, Jisoo, apa kau tidak melihatku? Selain pikun kau juga buta?"
Jisoo mengulurkan paper bag di tangannya agak kesal. "Ini tanghulumu. Tetap saja tidak punya sopan santun."
Jisoo memang akan selalu menjadi Jisoo. Jennie tidak heran melihat Jisoo yang selalu tidak bersahabat itu langsung pergi ke kamarnya. Jennie pun masuk ke kamar sebagaimana tujuan awalnya menaiki tangga.
Akhirnya Jisoo sampai pada ruang kebebasannya. Jisoo seketika terduduk, bersandar pada pintu yang tertutup. Memeluk lututnya, menekannya semakin kuat agar sakit hatinya keluar.
Air matanya telah bebas keluar, membasahi wajahnya. Setelah puas terisak tanpa suara, Jisoo berdiri menuju cermin. Menatap wajahnya. Air mata yang telah menyebar bekasnya, lalu hidung yang merah, membuatnya tampak seperti begitu pantas dikasihani.
Sakit hati ini tidak terlihat dan terasa tidak nyata. Kemarahan dalam hatinya terasa menusuk dari dalam ketika dia ingat betapa tidak tahu diri ibunya Jinyoung bahkan ayahnya sendiri. Mengapa mereka tega melakukan itu pada ibunya?
Yoona selalu memberikan apa yang Jinyoung minta. Yoona juga masih di sini meski Siwon sering memukulnya. Lalu apa lagi yang kurang? Yoona memang selalu mendua di ponsel dan Jisoo sangat yakin ibunya melakukannya sebatas itu.
Sangat menjijikkan ketika Jisoo mengingat betapa lembut Siwon memperlakukan Ha-nee tapi selalu sangat kasar pada Yoona.
Tangan Jisoo bergerak cepat menghantam tembok kamarnya. Dia belum merasakan sakit sampai pukulan kelima. Sekarang tangannya memang terasa sangat nyeri, tapi perih hatinya lebih terasa.
Langkah Jisoo bergulir menuju balkon. Dia sangat butuh udara segar. Jisoo telah melihat betapa berantakan keluarganya. Ayah dan ibunya sama-sama mencari kenyamanan pada orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...