31. Shame

601 85 3
                                    

"Jennie-ya..."

Jisoo dan Jennie berhenti di samping sofa ruang tamu atas panggilan nenek mereka.

"Kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? Halmeoni bisa menyiapkan makanan untukmu."

"Tidak apa-apa, Halmeoni. Aku juga sudah sarapan di rumah."

Terjadi keheningan singkat karena tidak ada lagi yang memulai kata. Jennie melirik Jisoo yang hanya berdiri dengan gelagat seolah akan segera pergi ke kamar Bona.

Jisoo bukan tidak tertarik untuk mengobrol dengan nenek mereka, hanya saja Jisoo tahu sekarang nenek mereka ingin bicara cukup dengan Jennie karena lama tidak bertemu.

Langkah Jisoo yang hendak dimulai seketika terhenti ketika dia melihat sepupunya yang lain, Choi Seomin. Memang bukan permusuhan, tapi juga tidak begitu dekat.

"Seomin, kau bisa belajar bersama Jisoo dan Bona. Peringkat Bona jadi lebih baik sejak Jisoo sering berkunjung ke sini."

Bukan rahasia dan merupakan pengetahuan umum di antara para cucu keluarga Choi, Jisoo memang cucu emas nenek mereka. Bukan hanya karena hasil pendidikan, tapi juga lebih karena Jisoo adalah cucu pertama yang lahir. Kelahirannya begitu ditunggu dan menjadi pelimpahan pertama atas kasih sayang seorang nenek yang begitu mendambakan kehadiran seorang cucu.

Dengan kasih sayang dan rasa percaya sebanyak itu, muncul tanggung jawab lebih besar. Itu yang Jisoo rasakan.

Dua kalimat dari nenek Choi mengundang berbagai reaksi. Seomin sudah pasti merasa terhina. Jennie semakin melihat bagaimana Jisoo begitu tidak peduli pada adik-adiknya sendiri. Jisoo rela datang lebih jauh pada Bona daripada memperhatikan Chaeyoung dan Lisa, terutama Chaeyoung.

Di sisi Jisoo yang lebih tahu segalanya, dia merasa buruk untuk Bona. Jisoo tidak melakukan apa pun. Semua yang Bona dapatkan adalah hasil kerja keras Bona sendiri.

Sebuah aksi tak bermakna, Jisoo hanya menatap Jennie. Jisoo menemukan wajah Jennie yang reguler, tidak tersenyum juga tidak cemberut, tapi tetap terlihat imut. Andai Jisoo lebih peka dan peduli, dia akan sadar ucapan nenek mereka tadi juga berpengaruh pada Jennie yang berstatus adik kandungnya.

"Aku akan ke kamar Bona, Halmeoni. Sampai nanti, Seomin."

Netra sang nenek yang masih berpusat padanya, menahan Jennie untuk mengikuti kepergian Jisoo. Menuruti ketulusan hati dan demi kesantunan Jennie duduk di samping neneknya meski tidak diminta.

"Duduk saja di sini. Halmeoni buatkan tanghulu kesukaanmu, ya."

Hendak menuju dapur, nenek Choi masih menemukan Seomin berdiri memperhatikan Jennie. "Apa yang kau tunggu, Seomin? Naik ke atas. Kau sudah terlalu banyak menghabiskan uang ayahmu untuk bisa naik kelas."

Meski mendengarnya, itu tidak membuat Jennie terlalu peduli atau bersorak karena merasa lebih baik dari Seomin. Setiap keluarga punya masalah mereka masing-masing. Tidak ada keluarga yang sempurna.

Jennie tidak mungkin lupa bahwa keluarganya yang dianggap orang sebagai keluarga ideal juga memiliki cacat. Menurut Jennie, semua hanya tergantung bagaimana mereka pintar-pintar memoles kecacatan itu sehingga tidak terlihat.

Di kamar Bona, Jisoo menemukan Bona sedang memperhatikan raport di pangkuan dengan gembira. Jisoo turut bahagia, karena hasil tidak mengkhianati usaha Bona.

"Aku mencium bau-bau Iced Bona Latte gratis."

Bona menyingkirkan raport, berjalan menuju Jisoo dan merangkul pundaknya.

"Oke, nanti malam bagaimana?"

Jisoo mengajak Bona ke ranjang. Merebahkan tubuh bersebelahan. Bona menengok pada Jisoo yang menatap atap. Tidak perlu bertanya, Bona mengerti pasti ada masalah.

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang