Hari masih belum berakhir untuk Jisoo. Ini dijadikan kebiasaan untuk keempat putri Choi. Setelah laporan hasil belajar dibagikan, tidak perlu menunggu Siwon bertanya pada mereka. Baik Jisoo, Jennie, Chaeyoung, maupun Lisa harus menyampaikan sendiri hasil dalam raport mereka.
Jisoo membuka pintu ruang kerja ayahnya pelan-pelan. Jisoo sudah menyiapkan segala kalimat yang akan dia ucapkan sejak siang tadi. Daripada sibuk merasa takut, Jisoo lebih sibuk menghafal segala dialog yang akan dia ucapkan nanti. Itu adalah Jisoo, gadis yang belum pandai berbicara.
Jisoo duduk di depan meja kerja ayahnya.
Siwon menyingkirkan laptop dan segala berkas yang semula menjadi pusat perhatiannya. Sekarang titik pusat matanya hanya tertuju pada putri sulungnya.
"Bagaimana hasilnya?"
"Aku peringkat tiga. Aku sudah melakukannya semampuku. Aku belajar dan les setiap hari seperti biasanya. Aku merasa tidak ada yang kurang. Aku mengikuti kursus piano, mengikuti ekstrakulikuler taekwondo, mengurangi minum kopi, dan tidak begadang kecuali untuk belajar. Semuanya sudah kulakukan seperti yang biasa kulakukan saat menjelang ujian, tapi hasilnya masih kurang." Sebisa mungkin Jisoo mempertahankan kontak matanya dengan Siwon.
"Aku minta maaf atas kurangnya usahaku, Appa."
Siwon menghela nafas. Bukan karena Jisoo mendapat peringkat tiga. Siwon memang agak kecewa atas menurunnya hasil belajar Jisoo, tapi bukan itu poinnya sekarang.
Daripada seperti mendengarkan putrinya berbicara, Siwon lebih merasa seperti mendengarkan karyawannya yang sedang menyampaikan laporan mingguan kinerja perusahaan. Terlalu kaku dan formal. Tidak mungkin Jisoo lupa bahwa Siwon itu ayahnya dan mereka sedang bicara dengan status ayah-anak, bukan atasan-bawahan.
"Jisoo-ya, apa Appa terlalu menekanmu?"
"Tidak, Appa. Memang sudah seharusnya seperti ini."
Siwon menyerah berusaha membuat Jisoo berbicara lebih santai. Sejak Jisoo lahir, Siwon sadar dirinya memang jarang melakukan interaksi dengan Jisoo. Sehingga saat ini, jika terlepas dari status ayah-anak, mereka seperti orang tak saling mengenal yang hidup dalam satu atap.
"Baiklah, Appa yakin kau bisa memperbaikinya di semester berikutnya. Dua semester ke depan adalah tahun terakhirmu di SMA. Selain fokus pada setiap ujian, kau juga harus mempersiapkan diri untuk masuk universitas. Appa dan Eomma adalah lulusan Seoul National University, kau juga harus begitu."
"Baik, Appa. Aku akan berusaha."
"Dan sebaiknya kau berhenti ikut taekwondo dan les piano."
Dua hal itu yang paling bisa Jisoo nikmati saat melakukannya. Dia bisa meluapkan segala perasaan yang tertahan saat memukul samsak dan merangkai nada ketika bermain piano. Tidak masalah, Jisoo mungkin akan segera menemukan hal lain sebagai pengganti.
"Baik, Appa."
Jisoo beranjak pergi merasa lega. Sepertinya suasana hati Siwon sedang baik malam ini. Jika dipikir-pikir, Siwon memang ayah yang baik. Semarah apa pun Siwon, dia tidak pernah menghukum putri-putrinya, tidak pernah memotong uang bulanan mereka.
Dalam kasus Jennie, itu berbeda. Jennie adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan keluarga Choi Siwon. Maka, keputusan untuk menghukum Jennie dengan memindahkannya ke asrama dianggap bijak oleh Siwon dan Yoona.
Chaeyoung sudah menanti Jisoo di depan pintu ruang kerja Siwon. Bagi beberapa orang, peringkat tiga Jisoo adalah sebuah kemunduran. Namun, bagi Chaeoyung itu adalah sebuah kemajuan besar. Tak terungkapkan betapa bangganya Chaeyoung setelah mendengar kesedihan Lisa atas peringkat Jisoo yang menurun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...