Jennie, ingat yang pernah kau katakan padaku? Jika besok kau gagal pun, tidak akan ada yang berubah. Ujian itu tidak lebih berharga dari dirimu itu sendiri. Aku akan selalu bersamamu. Ingatlah, kau tidak sendirian. Ujian itu bukan apa-apa, kau lebih berharga. Jangan biarkan apa pun membuatmu tertekan. Jangan terlalu pedulikan perkataan-perkataan yang akan membuatmu semakin merasa tertekan. Aku, Chaeyoung, dan Lisa sangat menyayangimu. Kumohon. Andai aku bisa bicara denganmu, tapi di sini tidak ada jaringan. Aku akan pulang besok. Aku akan berusaha sampai rumah sebelum hasilnya diumumkan. Jaga dirimu.
Di atas kursi rodanya, Jennie tersenyum membaca pesan itu. Dari catatan tanggalnya, itu terkirim sudah lebih dari seminggu lalu. Namun, Jennie baru tahu ada pesan itu dan baru membacanya sekarang.
Tatapan Jennie teralihkan pada seseorang yang membuka pintu ruang rawatnya. Jennie memejam penuh senyuman mendapat ciuman di pucuk kepalanya.
"Appa ...." Jennie menunggu sebentar hingga perhatian ayahnya benar-benar tertuju padanya.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik-baik saja, Appa." Entah sudah berapa kali Jennie harus mengatakan kalimat yang sama.
"Appa ...." Jennie sekali lagi memanggil, sehingga Siwon memperhatikan penuh wajah putrinya.
Jisoo menahan diri dari masuk lebih dalam. Dia tetap di pintu yang terbuka sedikit.
"Belikan kursi SNU untukku. Aku tidak ingin terlambat kuliah. Aku akan kuliah tahun ini. Aku ingin Appa membelikan satu kursi untukku." Jennie beradu pandang cukup lama dengan ayahnya, hingga tangan Siwon mengusap rambutnya.
"Itu bukan sesuatu yang harus sangat kau khawatirkan. Sekarang, yang paling Appa inginkan, kau fokus pada kepulihanmu. Appa tidak buru-buru—"
"Aku yang buru-buru. Aku tidak mau lebih lambat dan seangkatan dengan Chaeyoung dan Lisa. Aku akan pulih dan kuliah. Aku bisa lakukan dua-duanya."
"Appa harus membicarakannya dengan Eomma dulu." Siwon kembali membelai rambut Jennie. "Untuk sekarang, jangan khawatirkan apa pun."
Dari posisi yang sama, Jisoo menarik nafas panjang dan menghembuskannya. "Appa, Eomma masih di meja administrasi. Eomma memintaku membantu mendorong kursi roda Jennie atau membawa barang-barang."
"Baiklah, Appa akan membereskan yang di sini, kau bantu adikmu."
Jisoo melakukan hal itu. Mendorong kursi roda Jennie keluar ruangan dan melewati lorong yang tidak kosong.
"Jennie-ya, aku baru memikirkan ini." Jisoo mencondongkan tubuh lebih dekat. "Kau pasti pernah lihat. Biasanya saat berhenti di lampu merah, ada satu orang yang dari awal menunggu lampu hijau. Namun, di detik-detik terakhir, dia memutuskan untuk menerobos lampu merah itu. Tidak lama kemudian lampunya berubah hijau, dan orang lain yang menunggu lebih lama darinya ternyata bergerak lebih cepat dan menyalipnya. Seperti itu, kenapa kau tidak sedikit bersabar dulu? Anggap ini sebagai lampu merahmu untuk beristirahat. Jalan setiap orang tidak ada yang tau. Tidak mustahil bagimu menyalip orang yang bergerak lebih dulu darimu. Gunakan waktumu untuk beristirahat dan melakukan hal-hal yang kau sukai dengan bebas."
"Aku akan menjadi pelanggar yang bergerak lebih cepat dari yang tidak melanggar. Unnie mungkin lupa, aku tidak didesain untuk mematuhi aturan."
Jisoo menyerah dengan kembali berdiri lebih tegak. "Kau memang sangat pandai bicara."
Jennie tersenyum puas. "Terima kasih." Jennie teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong ... aku baru baca pesanmu—"
"Oh jangan membahasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...