Bertambah dewasa, akhirnya Jisoo semakin paham bahwa mereka semua hanya orang biasa, yang tidak bisa membuat semua orang bahagia atau tidak merasa kecewa.
Seperti dia tidak bisa terus-menerus membuat ayah dan ibunya bahagia, mereka juga tidak bisa terus-menerus membuatnya tidak kecewa.
Di usianya yang kini beralih pada angka 23, ini tidak terasa lebih baik, tetapi dia ingin membuka segalanya, bagian dari dirinya yang selama ini banyak dia sembunyikan rapat-rapat. Sekarang, Jisoo merasa lebih bisa dan lebih berhak melakukan itu.
Mendapat posisi tertinggi di kantor cabang, merasa melakukan semuanya dengan sempurna atas dasar pujian ayahnya, jujur saja Jisoo merasa sedikit lebih tinggi dari beberapa orang. Ini tidak pernah ada dalam kotak impiannya, karena Jisoo tahu semua yang dia lakukan sejak awal memang akan sampai di sini. Dia memang disiapkan untuk ini.
"Jisoo, sekali-sekali kita bisa minum soju saat di luar. Apa itu tidak mungkin? Kau selalu minum kopi. Kau bisa minum kopi di rumahmu, saat sendirian juga tidak apa-apa. Tapi kalau soju, lebih enak diminum bersama-sama."
Dalam kafe itu, Jisoo menaruh cangkirnya yang hampir kosong. "Tidak mungkin." Jisoo menatap Irene dengan setengah tertawa. "Kelihatannya ibuku akan lebih suka aku minum soju daripada kopi."
Irene membalas dengan tawa yang sama. "Kau yakin?"
Jisoo mengangguk-angguk melanjutkan tawanya. Dia memeriksa jam tangan. "Kau ada permen? Ibuku selalu menungguku pulang, kadang tiba-tiba muncul begitu aku masuk."
"Wahhh, selamat, kau sudah jadi anak durhaka."
Tangan Jisoo terlipat di meja. Memandang bagian tengah bidang meja, namun pandangannya seakan tidak di sana. "Aku ingin membebaskan diriku sekarang. Dengan batasan yang kubuat sendiri, aku akan melakukan semua yang kuinginkan."
Irene tersenyum simpul. "Kurasa itu berarti benar." Memotong kue cokelatnya.
"Apa?"
"Kalau ketika masih anak-anak seseorang itu pendiam, di masa dewasa dia akan berubah brutal."
"Brutal?" Jisoo tertawa lebih keras. "Aku hanya tidak bisa tanpa kopiku."
"Yang itu tidak." Irene menunjuk Jisoo menggunakan sendoknya "Tapi kita tidak tau selanjutnya."
Jisoo mengangguki saja kalimat itu. Memang tidak ada yang tahu bagaimana selanjutnya. Namun, Jisoo merasa, sejauh apa pun dia akan berubah, pasti tidak akan jauh-jauh dari sifatnya selama ini.
Ponsel di meja itu berdering. Tanpa memeriksa, Jisoo menolak panggilan dan membaliknya dengan posisi layar di bawah. Dia menghabiskan sisa kopinya.
Irene menatap Jisoo. "Kau yakin itu tidak penting?"
Jisoo bertumpu pada sebelah lengan, memejamkan mata. "Pasti ibuku. Sudah jam makan malam, pasti untuk mengingatkan pulang."
Irene mengangguki. Memusatkan mata pada ruang cangkir yang kini dalam lingkupan kedua telapak tangannya.
Irene memahami, mungkin sekarang Jisoo merasa lelah dan merasa melakukan hal tidak berarti dengan harus pulang saat jam makan malam, lalu kembali lagi ke kantor. Namun, itu hal yang langka. Tidak semua orang bisa mengalaminya.
"Sebaiknya kau menikmati itu sekarang. Suatu saat, nada dering itu akan menjadi sesuatu yang sangat kau rindukan."
Kelopak mata Jisoo terbuka pelan. Tatapannya berpusat pada Irene. Jisoo memperhatikan sedikit lama.
"Ibumu dirawat lagi?"
Keheningan tanpa jawaban mengungkap kebenaran.
"Ayo, kutemani kau minum. Pekerjaan kita bisa dilanjutkan besok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...