Lisa terbangun dengan kepala sedikit pusing. Dia masih berada di tempat sama, di salah satu sofa panjang ruangan itu.
Lisa duduk seketika. Hanya ada dirinya di ruangan itu. Musiknya masih menyala. Sangat normal dan terlalu sepi. Bukan sepi yang tanpa suara. Di sana ada suara, banyak suara, tapi Lisa merasa di sekelilingnya terlalu tenang.
Lisa meraba kancing seragamnya. Dia harap memang terus seperti itu keadaan kancingnya sejak ... sejak .... Lisa mengambil ponsel di tasnya. Sekarang pukul sebelas lewat empat sembilan.
Lisa terlalu bingung sampai keinginannya untuk menangis tertutupi kelinglungan. Lisa berdiam sejenak. Sikunya menyangga di lutut dengan wajah menatap lantai.
Lisa adalah seorang korban lugu yang mengira akhirnya seseorang mau menerimanya tanpa ada maksud apa pun di baliknya. Daripada melihat dari sudut pandang itu, Lisa melihatnya dari sisi lain.
Orang-orang pasti akan menilai ini terjadi karena dia yang bodoh. Semua ini bisa terjadi karena dia adalah orang yang mudah dibodohi dan tidak bisa memberikan batasan sejauh mana dia bisa mengorbankan keinginan dan kepentingan diri demi diterima oleh orang lain. Dialah satu-satunya yang salah dan yang paling pantas disalahkan sejak awal.
Kedua tangan Lisa menyangga kepalanya. Ini semua terjadi karena dia memberikan kesempatan pada orang lain untuk berbuat jahat padanya. Ini terjadi karena dia kurang kuat berjuang untuk dirinya sendiri dan bersikap seolah dia orang paling lemah dan satu-satunya korban di dunia ini.
Lisa menepuk kepalanya sedikit kuat untuk menghentikan pikirannya sendiri.
"Nona, Anda sudah selesai? Kami akan tutup sebentar lagi."
Lisa menengok ke arah pintu yang sedikit terbuka.
Lisa mengambil tasnya dan beranjak keluar.
"Apa aku harus membayar lebih karena di sini terlalu lama?" Lisa menatap senyum tulus di bibir lelaki paruh baya itu. Hati Lisa semakin ingin menangis, bahkan Dita juga pernah memberikan senyuman semeneduhkan itu sebelumnya.
"Teman Anda sudah membayarnya. Dia meminta agar ruangan ini tidak dimasuki siapa pun sampai waktu tutup. Sekolah-sekolah sekarang memang membuat banyak anak sangat kelelahan. Katanya dia harus pergi karena urusan mendadak dan tidak ingin membangunkan Anda yang tertidur, maka dia meminta saya membangunkan Anda ketika kami sudah hampir tutup."
Omong kosong. Lisa menolak keras untuk percaya pada maksud Dita yang disampaikan pada pemilik tempat itu.
"Terima kasih, Ahjussi." Lisa pergi bersicepat. Dia harus pulang segera atau seisi rumah akan gempar.
Lisa berjalan kaki, menunduk, merenungkan kembali. Mengabaikan poin rasa minuman yang aneh dan rasa pusing sampai dia tertidur, mungkin saja Dita tidak bermaksud apa-apa, dan memang sedang terdesak sesuatu sehingga harus cepat pulang.
Lisa takut berprasangka buruk, karena Dita selalu sangat baik padanya, sampai rasanya sulit mengaitkan pribadi Dita dengan kejahatan.
Bukankah, terkadang, sendirian memang jauh lebih baik?
_______________________
Jisoo berdiri menatap Jennie yang tengah menenangkan Chaeyoung di ranjang Chaeyoung. Jisoo hanya berdiri di sana. Memandang, dan menunggu Jennie selesai menyelimuti Chaeyoung.
"Rosie, kalau kau lapar, ada dua burger untukmu. Kutaruh di nakas."
Mereka keluar dari sana, untuk memberi ruang ketenangan pada Chaeyoung agar bisa tidur atau sekadar mendinginkan pikiran.
Jisoo dan Jennie ke ruang tengah untuk melihat mungkin ada yang bisa mereka lakukan untuk membantu menemukan Lisa yang masih juga belum pulang.
Jennie sengaja berhenti di tengah tangga, menatap Jisoo. "Terima kasih, untuk semua yang kau lakukan hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanficTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...