Langkah Jisoo menyusuri lorong ramai menuju kelasnya. Banyak siswa siswi berlarian berlawanan arah dengan Jisoo. Pusat acara kali ini ada di lapangan tengah. Jisoo sudah mengisi daftar hadir saat di gerbang masuk tadi dan hanya itu yang penting. Andai bisa, dia akan pulang saat ini juga.
"Jisoo!!"
Jisoo berbalik melihat Irene berlari ke arahnya. Irene adalah satu-satunya teman sekolah yang pernah melihat Jisoo tertawa. Mungkin juga cuma Irene yang Jisoo anggap sebagai teman.
Irene berhenti di samping Jisoo dalam proses memperbaiki nafasnya. "Kau mau ke kelas?"
"Iya, lagi pula tidak ada yang penting, kan?"
Irene menarik lengan Jisoo agar berjalan dengan cepat. "Kita ke lapangan belakang. Daripada hanya diam di kelas dan melalui waktu dengan bosan."
Jisoo mengikuti ke mana pun Irene menariknya. Itu bukan suatu hal yang patut ditolak. Irene benar dan sendirian di kelas juga sepertinya agak menyeramkan. Di lapangan belakang sepertinya juga akan sepi, karena kebanyakan siswa akan ada di area bazar.
Itu di luar dugaan. Lapangan belakang dikelilingi banyak siswa. Irene menarik Jisoo semakin cepat. Jisoo yang butuh berpikir berusaha menghentikan tarikan Irene. Perasaan Jisoo semakin tidak enak ketika Irene tetap saja menariknya dan mendorongnya ke tengah-tengah lapangan.
Jisoo sendirian di tengah-tengah kerumunan teman-teman sekelasnya, menjadi pusat perhatian semua siswa yang ada di sana. Mereka mulai bersorak bahkan termasuk Irene. Jisoo mematung di tempat sekaligus menatap heran pada Irene, tidak memahami apa maksud sorakan itu.
Semua sorakan itu tertahan ketika seorang siswa laki-laki melewati kerumunan menuju tempat Jisoo berdiri. Dia adalah Min Suho. Mungkin akhirnya Jisoo mengerti apa yang sedang dan akan terjadi. Jisoo berusaha mengendalikan ekspresinya agar tetap biasa saja.
Bola mata Jisoo hampir saja keluar ketika Suho berlutut di hadapannya. Rasanya Jisoo ingin menghilang saat ini juga. Irene memang sungguh kurang ajar. Irene tidak mengatakan apa pun untuk memperingatkan Jisoo. Jisoo kurang lancar dalam melewati keadaan yang di luar dugaan.
Tanpa berkata apa pun, Suho menunjukkan buket bunga yang semula disembunyikan tangannya di belakang punggungnya. Jisoo sungguh tahu apa artinya. Semua orang mulai berteriak agar Jisoo mau menerima bunga itu sekaligus pemiliknya.
Jisoo menatap sekelilingnya, yang dia inginkan hanya pergi dari tempat ini secepatnya. Ini pasti hanya semacam permainan atau sejenisnya. Jisoo bahkan tidak pernah bicara dengan Suho jika tidak terkait kerja kelompok. Bagaimana mungkin tiba-tiba menjadi begini?
"Jisoo-ya..."
Tatapan Jisoo mengarah pada Suho yang memanggilnya selembut angin. Jisoo harus segera melakukan sesuatu. Jisoo pernah membaca tulisan entah di mana, bahwa saat menolak seorang pria itu harus dengan hati-hati tapi juga tegas agar pria itu tidak merasa dipermalukan.
Jisoo menegarkan hatinya. Dia akan melakukan hal yang selalu terpaksa dia lakukan, menyentuh pria selain keluarganya dengan sengaja. Jisoo memegang kedua bahu Suho agar berdiri. Jisoo bermaksud mengatakan jawabannya ketika Suho sudah berdiri, tapi sebuah pelukan justru menerjang tubuhnya. Momen itu dibarengi oleh sorakan yang rasanya menusuk telinga Jisoo.
Jisoo mematung tegang dalam pelukan Suho. Jisoo bahkan belum mengatakan apa pun. Dia juga belum menerima bunga itu. Kenapa mereka menyimpulkan begitu cepat? Tidak bisakah mereka melihat wajah Jisoo yang pucat?
"Terima kasih, Jisoo-ya."
Bibir Jisoo terkunci bersamaan dengan pikirannya yang tiba-tiba kosong. Dia bahkan tidak sanggup menelan ludahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...