Masa kecil seseorang menentukan bagaimana karakternya saat beranjak dewasa atau sepanjang tumbuh kembangnya. Cara dia dibesarkan dan lingkungan tempat dia belajar memiliki peran sangat besar. Hati manusia sangat mudah berubah.
Keempat putri Choi sudah mulai tumbuh besar. Terlahir dari rahim yang sama tidak menjadi jaminan bahwa keempatnya akan mendapatkan masa lalu apalagi masa depan yang sama.
Sifat dan sikap manusia sangat mudah berubah beriringan dengan waktu yang telah mereka lalui. Setiap detail situasi dan kondisi sangat mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku. Hati yang lembut dapat mengeras atau sebaliknya.
Hati adalah bagian paling rentan terhadap rasa sakit. Meski tak berdarah apalagi sampai menampakkan luka layaknya tersayat belati, tapi itulah bagian terburuknya. Sering kali tak terlihat, maka banyak orang tidak mengetahui bahwa seseorang itu sedang terluka dan hanya mengharapkan dekapan hangat tanpa mau mengungkapkan.
Setiap orang memiliki lukanya masing-masing. Setiap orang memiliki hari terburuknya masing-masing. Setiap orang pasti pernah merasakan patah hati yang berbagai macam penyebabnya. Setiap orang memiliki luka terpendam yang tersimpan dalam-dalam, dan setiap orang memiliki cara berbeda dalam menangani luka yang didapatkan.
Choi Jisoo terlihat seperti gadis keras hati, sombong, dan selalu mementingkan kepentingannya sendiri. Selalu bertingkah sesuka hatinya tanpa peduli pada perasaan atau pikiran orang lain. Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang di sekitarnya. Padahal, Jisoo yang sangat angkuh dan egois ini hanyalah upaya perlindungan diri dari perasaan yang selalu menguasainya secara berlebihan.
Tidak ingin berteriak saat marah, karena setelahnya dia pasti akan merasa bersalah dan justru hanya akan menambah beban hatinya. Mengatakan maaf, sebisa mungkin Jisoo menghindari hal menyebabkannya mengatakan kata itu. Kadang rasanya itu terlalu berat diucapkan.
Jisoo selalu menganggap dunia tidak adil, karena berpikir selalu dirinya yang mengalah dan orang lain tidak mau memahaminya. Itu juga yang terkadang membuatnya berbuat seenaknya.
Sebuah raport dengan bubuhan nama Choi Jisoo di bagian cover-nya, terlempar di atas kasur. Gadis berusia tujuh belas tahun, Choi Jisoo, otomatis memusatkan perhatiannya pada benda yang baru saja mendarat di sampingnya.
"Apa saja yang kau lakukan, Sooyaa? Kau di posisi ketiga. Kau turun terlalu jauh."
Jisoo menyingkirkan ponsel di tangannya. Dia sudah siap untuk menangis. Jisoo yang katanya gadis keras hati, tidak lebih hanyalah gadis yang memang ingin terlihat begitu agar tidak dikasihani. Sebab, menangis di depan orang lain itu seperti berdarah di dekat ikan hiu, hanya akan membuat diri sendiri semakin terluka. Sebenarnya sangat mudah untuk membuat Choi Jisoo menangis.
"Kau sudah semakin dewasa. Kau tentu paham di mana kita hidup. Kau bahkan kalah dari Irene."
Jisoo membisu dengan hatinya yang dipenuhi gumpalan kekesalan. Di saat seperti ini, ayah dan ibunya selalu banyak bicara. Namun, saat dia berada di paling puncak, mereka hanya diam seperti tidak terjadi apa-apa.
"Eomma akan menyita ponselmu selama sebulan."
Jisoo membisu. Pembelaan apa pun yang akan dia katakan, ibunya akan tetap menilai itu sebagai kesalahan. Tidak ada peluang untuk menang.
"Apa kau berkencan?"
Jisoo mendongak menatap langsung wajah ibunya. Merasa tidak terima mendapat pertanyaan itu. "Apa Eomma memberiku waktu untuk itu? Memangnya pernah ke mana aku tanpa seizin Eomma? Ketika keluar rumah pun Eomma selalu meneleponku setiap saat. Berbeda dengan Chaeyoung, Eomma selalu memberi kebebasan padanya. Apa aku terlihat bodoh karena terlalu pendiam?" Suara hati Jisoo memberontak ingin keluar, tapi mulutnya tidak mengizinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...