34. Direct Communication

621 93 38
                                    

Lisa membenarkan letak bantal dan menaruh selimut yang dia bawa di atasnya. Hari ini berlalu dengan baik. Hal buruk yang memenuhi pikirannya tidak pernah terjadi. Itu berkat Chaeyoung. Sekarang Lisa sadar, meminta tolong tidak berarti dirinya lemah. Itulah mengapa Lisa memutuskan akan tidur di kamar Chaeyoung malam ini.

Sama seperti Chaeyoung, Lisa memang akan menemui ayah mereka malam ini. Lisa tidak pernah melihat hal itu sebagai aktivitas yang menegangkan atau menakutkan. Tentu saja lebih baik bicara dengan ayah sendiri daripada harus sekolah dan bertemu orang-orang seenaknya.

Baru saja Lisa hendak berbaring, pintu kamar itu dibuka oleh pemiliknya. Chaeyoung masuk dengan wajah kurang tenteram. Lisa bertanya-tanya, keadaan seperti apa yang bisa membuat Chaeyoung berwajah begitu selain dimarahi ibu mereka.

Chaeyoung menarik tubuh Lisa untuk berbaring bersama ke ranjang. "Kau akan tidur di sini? Kenapa?" tanya Chaeyoung bernada ramah tanpa meninggalkan senyum.

"Sebenarnya aku selalu takut tidur sendirian, bahkan meski tidak menonton film horor. Itu sebabnya aku selalu menghidupkan salah satu lampu tidur di kamarku."

Mereka terbaring dalam keadaan miring. Kini saling menatap mata satu sama lain.

"Chaeyoung, jangan terus menatapku dengan tatapan itu. Kau juga tidak perlu selalu bicara dengan nada lembut padaku. Aku tau diriku memang pantas dikasihani, tapi bukan berarti kau harus selalu menahan diri di depanku. Aku ingin kau bersikap seperti biasanya. Kau boleh kesal atau marah di depanku."

Saat ini Chaeyoung benar-benar merasakan rasanya punya adik yang manis. Andai mereka bisa bicara dengan hati seperti ini setiap hari.

"Apa kau habis dimarahi Eomma?"

"Tidak, tapi Jisoo unnie. Aku hanya memakan roll cake dan minum susu yang dia beli, tapi dia sampai semarah itu. Kau tidak akan percaya dia menatapku setajam tadi."

Lisa mengingat tatapan itu. Lisa percaya Jisoo bisa menatap begitu tajam, seolah di dunianya hanya ada kemarahan. Lisa tahu seperti apa tatapan itu.

"Aku tidak menyangka Jisoo unnie bisa semarah itu. Aku pikir dia memang orang yang cuek tapi dengan hati yang sebenarnya peduli. Tapi kupikir aku salah. Aku pikir dia sangat membenciku sekarang. Jika diingat-ingat kembali, kurasa dia memang tidak begitu suka padaku."

Lisa memegang tangan Chaeyoung untuk menghentikannya. "Eomma selalu memarahimu, apa itu berarti dia tidak menyayangimu?"

Pikiran buruk itu bisa merusak jika terus dipupuk. Meski Lisa sendiri masih sering melakukannya, dia tidak ingin Chaeyoung juga menanamkan kebiasaan tidak baik itu.

"Kalau memang sayang, kenapa marah? Orang-orang akan selalu bicara dengan lembut pada orang yang mereka sayangi."

"Chaeyoung, kita hanya marah pada orang-orang yang memiliki pengaruh pada hidup kita. Kita hanya marah pada orang yang kita sayangi. Jika Jisoo unnie tidak marah dan meninggalkanmu begitu saja, itu artinya dia sudah tidak peduli padamu atau apa pun yang kau lakukan. Ketidakpedulian justru menunjukkan bahwa memang tidak ada cinta di antara kalian."

Chaeyoung hanya diam tidak bermaksud memahami segala yang Lisa ucapkan.

"Seperti saat ini kau juga sedang marah pada Jisoo unnie, karena apa? Karena Jisoo unnie yang kau kira peduli ternyata bisa semarah itu padamu. Kenapa kau bisa mengira Jisoo unnie sebenarnya adalah orang yang peduli? Karena kau mengenalnya, kau merasa kalian seharusnya bisa dekat sebagai adik kakak, tapi Jisoo unnie malah semarah itu padamu. Coba simpulkan sendiri. Itu semua terjadi karena kalian memiliki hubungan dan ikatan antara satu sama lain."

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang