49. Bomb

603 83 14
                                    

Mempersiapkan diri seakan hendak tampil di depan publik, Jisoo pelan-pelan maju mendekati ibunya di dapur.

"Ada yang bisa kubantu?" Jisoo seakan bisa menebak reaksi ibunya begitu bertatapan. Kemungkinan ibunya akan menyuruhnya istirahat saja.

Demi mencegah anggapannya benar, Jisoo mendahului. "Ouh, aku tidak tau kita boleh makan ramyun malam-malam. Siapa yang minta, Eomma? Kurasa tidak mungkin Eomma yang ingin." Menganggap ucapannya mungkin kurang sopan, Jisoo segera menimpali, "Aku saja yang masak ramyun-nya, Eomma."

"Benarkah? Kau ingin minta sesuatu?"

"Tidak. Aku tidak minta apa-apa." Telunjuk Jisoo menggaruk dahinya meski tidak ada rasa gatal di sana. "Karena Appa memanggil Eomma. Kalau hanya buat ramyun, aku bisa."

Hati Jisoo mendesis. Ada banyak ucapan yang hanya tertahan di tenggorokan, seperti aku hanya ingin membantu, aku tau Eomma lelah, Eomma istirahat saja, tidur di kamar, aku akan mengurus Jennie, Chaeyoung, dan Lisa.

"Di mana Appa? Kenapa katanya?"

"Di kamar. Aku juga tidak tau kenapa."

Yoona menaruh sebungkus ramyun yang sudah terbuka kemasannya. Menoleh pada putri sulungnya.

Jisoo merasa sedang diintimidasi saat ditatap penuh begitu oleh ibunya.

"Mau buat kopi, ya?"

Sebagai seorang anak yang bermaksud tulus dan murni ingin membantu, Jisoo terkejut terjungkal-jungkal.

"Eomma sudah membersihkan semua yang berhubungan dengan kopi, bagaimana aku bisa buat kopi?" Jisoo menelan ludah ketika ibunya justru menghadapkan seluruh badan padanya ditambah kedua lengan terlipat di dada.

"Aku ibumu. Sooyaa mungkin sedikit lengah. Ingat Eomma yang memilih dan menyiapkan pakaianmu untuk acara Harabeoji dan Halmeoni?" Sebagai seorang ibu, Yoona merasa bangga melihat sedikit perubahan arus ekspresi putrinya. "Jangan sembunyikan kopi instan di lemari baju lagi. Carilah tempat lebih aman."

Rasanya Jisoo sungguh telah jatuh terjengkang. Mungkin lebih tepat bibir bawahnya yang menganga lebar. "Eomma membuangnya? Eomma—" Jisoo melangkah lebar dan cepat menuju kamarnya, untuk memastikan kopi yang kelihatannya sudah tidak selamat tetap tersembunyi di tempat.

Namun, Jennie di ruang tengah menghadang Jisoo.

Jisoo mengalah dengan bergeser bermaksud segera berlalu. Kaki Jennie menyamping mengikuti langkahnya, sehingga mereka masih berseberangan.

"Kau pernah beli kursi?" Jennie tak berniat memberi kesempatan menjawab pada Jisoo yang bingung. "Saat kau sampai di tokonya, apa kau langsung menunjuk satu kursi lalu membelinya?"

Jisoo meninggalkan Jennie, merasa tidak masuk pada apa yang Jennie bicarakan.

Lengan Jennie terulur cepat memegang tangan Jisoo lantas kembali berdiri di depannya. "Tidak. Kau akan mencoba duduk di beberapa kursi sampai kau merasa menemukan yang paling cocok dengan keinginanmu. Bagaimana kau bisa menemukan pasangan yang paling cocok denganmu kalau kau tidak mencari dari sekarang?"

Jisoo memandang Jennie dengan tatapan berbeda, tidak lagi bingung pembicaraan ini sebenarnya menuju ke mana.

"Tidak semua orang ingin membeli kursi."

"Tapi, pada satu titik, kau pasti butuh kursi dan harus membelinya."

"Aku tidak menyalahkanmu atau orang-orang sepertimu yang sedang memilih kursi. Aku tidak menyalahkan kau yang ingin berkencan. Lakukan saja. Tidak perlu sampai merendahkan orang lain yang belum tentu memiliki pandangan sama denganmu."

Before◁◁PROblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang