Setiap langkah Jisoo dalam mencari kios tanghulu terbalut oleh rasa lelahnya dalam menghadapi kelakuan Irene yang tidak pernah malas mengganggu kedamaian Jisoo. Namun, sepertinya Jisoo hanya butuh terbiasa saja dengan itu. Lagi pula Jisoo sadar, dia memang butuh teman seperti Irene agar hidupnya terasa sedikit longgar.
Setelah melewati beberapa kios dan sejumlah pasangan, akhirnya Jisoo menemukan penjual tanghulu yang mungkin Chaeyoung maksudkan.
Jisoo membeli empat tanghulu strawberry, sesuai yang Chaeyoung katakan, dan sesuai keinginan hatinya. Tanghulu ini tidak begitu mahal, dan sebenarnya Jisoo juga suka saat Jennie, Chaeyoung, dan Lisa tersenyum karena dirinya.
Jisoo memang suka jual mahal dan takut menghilangkan kesan cuek di wajahnya. Bukan karena apa, itu agar dia tidak dinilai lemah atau lembek. Terlalu dekat dengan orang juga akan membuatnya mudah sakit hati. Belajar dari ayah dan ibunya, menjalin hubungan itu sangat rumit dan melelahkan.
Jisoo bisa dekat dengan orang, tapi dia juga akan tetap memberi batasan sejauh mana orang lain bisa melihat segala sisi dari dirinya.
Setelah menerima paper bag berisi empat tanghulu terbungkus rapi dalam masing-masing box-nya dan membayar, Jisoo kembali menuju restoran tempat Irene berada.
Sepertinya tidak sopan jika membawa produk lain dalam restoran orang lain, jadi Jisoo menuju mobilnya untuk menaruh tanghulu itu.
Jisoo berjalan cepat, mengarahkan pandangannya cukup pada arah dia menuju.
Jisoo mulai merasa biasa dengan segala suasana penuh keromantisan orang-orang di sana. Dia mulai melangkah lebih santai. Tidak ada hal menarik, sampai saat kelopaknya mulai menyipit dan kembali terbuka semakin lebar, disusul kakinya berhenti secara tiba-tiba.
Kedua mata Jisoo melihat dengan jelas, paper bag itu sedikit turun mengikuti kekuatan lengan Jisoo yang melemah. Jisoo seolah melupakan dunia sekitarnya. Dalam netra Jisoo hanya ada dua orang yang begitu menikam hatinya.
Tanpa sedikit saja upaya, kedua mata Jisoo memanas sebagaimana hatinya. Ini bahkan lebih menyakitkan daripada saat dia melihat ibunya tersenyum pada layar ponselnya.
Tali paper bag itu tergenggam kuat oleh tangan Jisoo, nafasnya tertahan. Akhirnya, kini orang itu mengetahui keberadaannya.
"Jisoo."
Jisoo menghembuskan nafasnya, tak kuat menahannya lebih lama. "Wahhh, maaf, aku pasti mengganggu kalian berdua." Senyum Jisoo terlihat sangat jelas bahwa itu senyum terluka.
"Jisoo, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Jangan berpikiran macam-macam."
"Aku sudah melihatnya, Appa. Kenapa Appa melakukannya?" Jisoo segera menghapus air mata yang mengalir tanpa persetujuannya.
Terasa begitu mengoyak saat orang yang Jisoo percaya setia, justru berbuat hal lebih parah. Jisoo menatap pada seorang wanita yang agak jauh darinya, hanya Siwon yang kini berhadapan dengan Jisoo. Jisoo kenal betul orang itu, itu bukan orang tak dikenal, Jisoo mengenalnya.
Siwon menarik Jisoo ke tempat lebih sepi. "Jangan katakan apa pun pada Eomma. Ini bukan apa-apa. Ini hanya--"
"Appa melakukannya, dengan ibunya Jinyoung oppa? Apa kurangnya Eomma, Appa? Apa Appa tidak sadar bahwa Appa sudah sangat jahat pada Eomma? Apa yang dimiliki Ha-nee ahjumma dan tidak ada pada Eomma?"
"Jisoo-"
"Apa sudah sangat lama Appa melakukannya? Apa karena ini Appa membawa Jinyoung oppa ke rumah? Karena dia hasil dari--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...