Jisoo masih terbaring di ranjangnya. Dia merasa tak berminat pergi ke mana pun. Rasanya seperti tidak bisa berpindah tempat. Setiap dia melangkah, pasti ada masalah di sana. Lebih baik jika diam saja di sini, di kamarnya, sendirian.
Hidupnya memang tidak semenderita itu. Dia punya keluarga yang lengkap, tidak seperti beberapa anak kurang beruntung di luar sana. Dia punya rumah yang besar dan kaya, yang mana masih banyak orang di luar sana tidak memiliki hal itu.
Namun, setelah mendengar pertengkaran Yoona dan Siwon semalam, di rumah sebesar ini pun, Jisoo merasa miskin. Apa gunanya perusahaan besar, rumah megah, dan uang yang banyak itu? Untuk siapa semua itu? Kenapa ayahnya bertindak seperti itu?
Ketika Siwon membatasi dan sangat perhitungan tentang keuangan, Jisoo merasa ayahnya itu telah merendahkan ibunya bukan hanya sebagai istri, tapi juga sebagai seorang wanita. Siwon seolah menganggap Yoona tidak bisa hidup tanpa uang darinya.
Siwon bertindak seolah dia yang paling berhak mengatur tentang uang, karena merasa satu-satunya yang berjuang mendapatkan uang. Jika begitu, maka seharusnya Siwon tidak perlu menikah dan hidup berdua dengan uangnya. Atau setidaknya membiarkan Yoona bekerja. Itu meremas batin ketika Siwon begitu perhitungan, tapi juga mengekang istrinya agar tetap di rumah.
Jisoo melirik jam digital di nakas. Ini pukul 08.57 pagi. Jisoo merasa harus turun ke bawah karena lapar. Tidak ada yang mengingatkannya untuk sarapan. Seperti inilah jika ibunya tidak ada.
Jisoo keluar kamar demi mengisi perutnya. Menangis itu menguras tenaga. Setelah menangis sampai tertidur lagi, sekarang waktunya makan pagi. Jisoo masih pusing memikirkan, apa pilihannya ini benar dengan tetap di rumah? Padahal sudah memilih ini, seharusnya tidak perlu dipikirkan lagi sebab sudah terjadi.
"Aku ingin hari ini juga kameranya dipasang, karena tidak ada orang di rumah."
Jisoo merasa selalu hadir di waktu yang tidak tepat, atau justru dia selalu hadir di waktu yang tepat untuk mengetahui banyak hal.
Seharusnya hal itu cukup membuat Jisoo sadar bahwa Siwon tidak selalu menjadi pihak yang tersakiti.
Jisoo terpaku di tempat ketika Siwon menatapnya. Antara berterus terang atau pura-pura tidak memahami, entah mana yang harus Jisoo pilih.
Siwon kaget bukan karena takut ketahuan, tapi dikarenakan putri sulungnya ada di sini. Siwon pikir, seperti Chaeyoung dan Lisa, Jisoo juga ikut bersama Yoona. Lagi pula Siwon yakin, Jisoo tidak paham apa pun yang dia ucapkan tadi.
Di mata Siwon, Jisoo sudah cukup dewasa untuk memahami mengapa Yoona pergi dari rumah ini. Kehadiran Jisoo di sini dinilai Siwon sebagai bentuk keberpihakan Jisoo padanya. Cukup membuat hati Siwon mendingin penuh rasa sayang.
"Jisoo-ya, kau baru bangun tidur? Kau ingin sesuatu? Appa akan membelikannya untukmu."
Hati Jisoo mengernyit. Itulah ayahnya yang menganggap semuanya bisa selesai dengan uang. Jisoo sudah paham. Siwon bersikap sangat ramah hari ini karena merasa Jisoo mendukungnya. Jisoo ingin lihat, seberapa lama Siwon bisa hidup tenang tanpa hadirnya Yoona.
"Tidak, Appa, aku akan sarapan di bawah."
Siwon menaruh ponselnya ke dalam saku, lalu mengambil langkah lebih dekat dengan Jisoo. "Baiklah, setelah sarapan, ikut Appa ke sekolah Jennie. Appa akan mengambil raportnya dan membawa Jennie pulang hari ini."
"Appa, sepertinya bukan waktu yang tepat. Jennie pasti akan langsung menanyakan Eomma, Chaeyoung, dan Lisa. Mereka tidak perlu tau bahwa Appa dan Eomma sedang bertengkar." Kalimat terakhir Jisoo keluar cukup pelan, tapi masih bisa didengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before◁◁PROblem
FanfictionTidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Kenakalan berujung kesepian. Kesepian ditambah tekanan. Te...