IV. Kunjungan

2K 210 18
                                    

Aku turun dari kereta kuda dibantu Tristha. Suasana panti asuhan yang ramai membuatku mengerutkan dahi. Ada acara apa di panti?

Panti asuhan yang kukunjungi terletak di pinggiran Agradhipa, dekat perbatasan Agradhipa dan Olenka, kota pelajar. Tapi pandanganku membulat saat melihat sosok familier berdiri dengan santainya.

"Ngapain di sini?" sapaku akrab. Mungkin kalimatku terdengar tajam, tapi percayalah, aku sayang.

"Aku baru ingat hari ini jadwalmu kunjungan. Tidak apa-apa, cuma mau bermain." Anargia nyengir lebar. Aku menepuk dahi, menghela napas panjang.

Aku awalnya takut Anargia akan canggung padaku, apalagi semenjak acara jamuan, ia berbeda.

Ia tampak menghindariku, aku tahu.

Tapi kemunculannya yang tiba-tiba di panti asuhan ini jelas membuatku senang.

Nyonya Theyna, pemilik panti asuhan ini tersenyum mempersilakan kami masuk. Ada beberapa anak yang sedang bermain di halaman. Ada yang sedang menggambar, ada yang mewarnai.

"Kak Sienna datang!" itu Rio, anak kecil yang biasanya main denganku. Anargia tertawa saat beberapa anak menghampiri kami.

"Aku enggak disapa?" tanya Anargia pura-pura ngambek, membuat Hana, salah satu anak panti yang lain mendekat ke arah Anargia yang berjongkok untuk menyamakan tinggi badan.

Anargia memang tinggi. Aku hanya sebahu dia. Kurang malah. Tinggi Anargia hampir sama seperti Putra Mahkota, tapi Putra Mahkota jelas lebih tinggi.

"Hana kangen Kak Gia juga, kok! Kak Gia jarang main ke sini," cetus Hana jujur, membuat Anargia tertawa sembari mengusap-usap rambut Hana pelan.

Kalau melihat yang begini, mau tak mau hatiku menghangat. Anargia memang sayang dengan anak-anak. Adiknya dua, yang paling akhir perempuan. Aku berteman dengan Anargia dari awal masuk akademi. Anargia bukanlah pemuda yang akan gengsi untuk menggendong adik perempuannya di dada.

"Kak Gia lagi siap-siap latihan buat masuk akademi militer, Hana." Aku yang menjelaskan, membuat Anargia refleks melirikku dengan ekor matanya.

"Akademi militer? Kak Gia nanti tembak-tembakan?" Rio menatap Anargia antusias, membuat Anargia tertawa menganggukkan kepala.

"Enggak cuma tembak-tembakan, tapi pedang-pedangan. Ada panah juga," balas Anargia mengoreksi. Pistol adalah barang mahal, Naladhipa hanya memberikan pistol pada pasukan khusus saja, tidak ke semua prajurit.

"Berarti nanti Kak Gia enggak main ke sini lagi, dong?" celetuk Hana sendu, membuat Anargia mengelus rambutnya pelan.

"Doakan saja biar Kakak bisa main-main, Hana. Nanti Kakak bawakan oleh-oleh," balas Anargia menenangkan, membuat senyum Hana terkembang.

Aku terenyuh mendapati interaksi Anargia dan Hana. Pemuda itu memang sangat kakak-able. Aku mengakuinya.

"Putri Sienna?" Aku tersentak mendengar suara feminim yang tak asing. Aku bisa menebaknya, dari panggilan dia padaku.

Yang memanggilku dengan sebutan putri tidak banyak. Hanya keluarga kerajaan, dan orang-orang yang mengetahui hubungan dekat Mandalika dengan Istana.

Aku menoleh, dan gadis itu sudah tersenyum cerah.

Putri Agung Alamanda.

"Saya kaget bisa menemukan Anda di sini, Putri." Putri Agung Alamanda tersenyum lebar. Di sebelahnya sosok pria berdada bidang dengan kumis tipis khas Arab, Pangeran Huraymila Fatahillah Mahesa Zahrawi.

Calon suaminya.

"Saya yang lebih kaget, Putri. Senang bertemu dengan Anda, apa Putri Agung berkunjung ke istana?" Aku menyapa, basa-basi. Putri Agung Alamanda masih tinggal di Kalandra, tapi ia sering bolak-balik ke Agradhipa untuk mengurus bisnisnya.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang