LVI. Kosong

766 79 6
                                    

Kosong. Itu yang kurasakan setelah mengantar keberangkatan Rajendra di depan pintu kastil. Ibu mendekap bahuku lembut. Ratu Manohara dan Raja Arsenika juga berpamitan, mereka harus kembali ke istana bersama Putri Lakeisha. Syukurlah para pangeran juga pulang. Kakek Karna juga. Kondisi kastil kembali sepi, tetapi aku menyukainya. Kalau ada yang berbeda, maka itu adalah penjagaan kastil yang makin ketat. Personel ditambahkan. Chavania dan Melrose tetap di sini. 

Aku sempat mampir ke kamar Ayah, darah tingginya kumat. Tidak banyak hal yang bisa kukerjakan, aku memilih untuk masuk ke dapur dan bereksperimen di sana. Ibu awalnya menyuruhku istirahat, tetapi aku cukup ngotot karena jujur saja aku bosan. Tanpa Rajendra, tanpa kegiatan resmi, tanpa hal-hal yang harus aku kerjakan. Aku tidak tahu situasi Akademi, Putri Alamanda tidak mengirimiku surat karena ultimatum Rajendra.

Aku mengerti maksud baik Rajendra. Aku cukup mengerti bahwa pingsannya aku kemarin cukup untuk membuat kondisi Naladhipa jadi kritis. Tetapi pernahkah kalian pikir rasanya jadi penyebab semua situasi tanpa bisa melakukan apa-apa?

Rasanya menyebalkan. Rumit. Kosong. Bingung. Melakukan apa sedikit, dipandang salah. Merasa tidak layak. Aku tidak seberharga itu, tetapi aku cukup bersyukur betapa orang memandang aku berharga. Hanya saja kadang semuanya terlalu rancu.

"Aku bisa membantu Putri memasak, kok." Melrose nendekatiku. Chavania sudah lebih dulu kembali ke ruangannya. Gadis itu murid akademi bangsawan sepertiku, banyak yang harus ia pelajari untuk mengejar ketertinggalan.

"Iya, kah?" Aku menatapnya tak yakin. Pasalnya Melrose adalah putri kerajaan Navali. Putri kerajaan, anaknya raja dan ratu. Berbeda denganku yang hanya putri adipati.

Memasak bukanlah sesuatu yang umum bagi para nona bangsawan, tetapi juga tidak dikatakan tabu. Beberapa nyonya bangsawan hobi memasak, itu sah-sah saja. Tetapi ketika punya segudang pelayan dengan segudang kesibukan, siapa yang pikir memasak? Kecuali kalau memang sudah cinta.

"Ibuku suka memasak. Membuat roti, sih, lebih tepatnya. Segala macamnya," tutur Melrose mencoba meyakinkanku kalau ia tak seburuk itu.

Aku menyerah, membiarkan Melrose menemaniku di dapur. Aku ingin sekali memakan mille crepes yang lembut tetapi aku tidak suka terlalu manis. Nanti enek.

Aku cukup kagum dengan keterampilan Melrose yang piawai mengaduk dan menakar bahan-bahan. Aku sendiri kurang rapi dalam memasak. Melrose sesekali tertawa saat aku berujung menumpahkan tepung. Atau saat aku tidak sengaja menuang telur ke wastafel.

"Kakak 'kan punya banyak pelayan. Baru siuman juga. Kenapa ingin sekali memasak?" Melrose mengambil alih, menuang adonan di pan anti lengket. Aku meringis.

"Aku bosan, Mel." Aku jujur, tetapi memasak lebih tepat kusebut sebagai pelarian. Setidaknya dengan memasak aku merasa punya kendali atas bahan-bahan yang aku campur, walau orang yang bisa memasak dengan benar akan gemas karena aku tampak lelet.

"Tapi benar. Kalau tidak ngapa-ngapain juga bosan." Melrose membenarkan ucapanku. Ia menyelesaikannya dengan cepat, membuatku tersenyum tak enak saat kami duduk di tengah taman sembari memakan mille crepes dan susu hamil yang sudah disiapkan Hevina.

"Ini tempat favoritku. Itu tanamanku, cuma beberapa hancur kena serangan." Aku bercerita, menunjuk tanaman-tanamanku yang masih ada. Melrose membulatkan mata.

"Tuan Putri menanam sendiri?" tanyanya antusias. Aku mengangguk.

Lagi-lagi, berkebun bagiku juga pelarian. Semua hal yang kurasakan rasanya memang pelarian dari hidupku yang terasa kejam dan membingungkan. Apalagi saat tidak ada Rajendra di sisiku.

Terdengarnya seperti aku perempuan yang bergantung dengan laki-laki, ya. Tetapi sejujurnya peran Rajendra memang sebesar itu dalam hidupku. Aku bisa menentukan hidupku sendiri seperti apa, tetapi tanpa ada Rajendra, aku ragu bagaimana aku bisa menemukan akhir yang bahagia.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang