XCIV. Permaisuri

480 53 0
                                    

"Gasendra sekolah?"

"Iya, Bu. Pulangnya baru nanti siang." Ibu Ratu mengangguk mendengar jawabanku. Aku sebetulnya tidak bisa fokus dengan tumpukan berkas ini. Aku berulang kali menggelengkan kepala saat Ibu Ratu menjelaskan aliran dana sebulan terakhir.

"Setelah kalian dinobatkan, Paviliun Matahari kosong sampai Gasendra cukup umur. Kamu harus segera mulai mengangkat dayang pribadi." Aku hanya bisa mengangguki perkataan Ibu Ratu. Masalah dayang sebetulnya sudah jauh-jauh hari Ibu Ratu protes.

Keberadaan Marina yang kuangkat sebagai ajudan dianggap tidak valid. Dayang pribadi punya tugas lebih dari sekadar ajudan ataupun sekretaris. Semenjak insiden Tristha, aku tidak terlalu nyaman mengangkat dayang pribadi.

"Aku bisa mengangkat Marina sebagai dayang pribadi, Bu?" Aku menatap Ibu Ratu yang menganggukkan kepala.

"Ya. Walaupun dia nanti menikah dengan Pangeran Agung Mahardika, tidak apa-apa. Dayang pribadi punya fungsi menguatkan kedudukanmu di istana juga." Aku hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Ibu Ratu. Beberapa kalimat Ibu Ratu tidak kutangkap jelas.

Kepalaku betulan pusing. Dan kalimat-kalimat spekulasi Rajendra semakin menambah pusingku. Aku betulan tidak ingin mengandung lagi untuk saat ini. Tetapi kalau memang diberi Tuhan, aku bisa apa?

Manusia boleh berencana. Tapi Tuhan bisa berkehendak sesuka hati. Aku melangkah gontai masuk ke paviliun. Marina berulang kali menawarkan untuk memanggil dokter. Aku hanya menggeleng lunglai.

"Tidak perlu. Aku tidak perlu dokter. Bisa bawakan aku alat tes kehamilan? Yang beredar di apotek saja, tapi jangan sampai orang lain tahu." Aku menyerah. Aku memilih membisiki Marina, membuat Marina membelalak kaget lalu langsung bergegas untuk membelikan barang pesananku.

Aku tidak bisa mengambil resiko meminta pelayan yang bisa saja diawasi Ibu Ratu. Aku tidak mau periksa ke dokter karena itu berarti laporan periksaku akan tercatat di rekam medik dan Ayah Raja serta Ibu Ratu bisa dengan gampang mengetahui kehamilanku.

Kalau aku betul-betul hamil, aku belum siap memberitahu siapapun.

**

"Bu, kenapa matahari terang sekali?" Gasendra sedang duduk di tepi kolam, tempat favoritnya. Di tangannya ada krayon dan buku gambar. Ia sedang menggambar ikan dengan matahari.

Imajinasi anak-anak memang luarbiasa.

Aku terdiam sebentar, menatap matahari yang memang sedang terik-teriknya. Nah. Menatap matahari lama-lama, kepalaku jadi pusing.

"Bu, Ibu sakit, ya? Dari kemarin-kemarin Ibu diam terus." Gasendra melambai-lambaikan tangannya di mataku. Aku berkedip kaget.

"Eh? Kenapa, Sen?"

"Ibu sakit? Kenapa Ibu tidak mau panggil dokter?" Gasendra mendekatiku, tangannya menempel di dahiku.

"Tapi Ibu tidak panas."

"Memang orang sakit harus panas?" Aku menggelengkan kepalaku lagi. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Aduh. Mulai lagi.

"Kita pindah ke perpustakaan saja, yuk? Ibu pusing kena matahari lama-lama. Mual." Aku tidak bohong. Perutku seperti diombang-ambing. Gasendra cemberut.

"Aku mau di kolam ikan! Kalau Ibu mau pergi, pergi saja!" Gasendra mengusirku, membuatku menarik napas panjang. Ini perutku kenapa? Aku menelan ludahku untuk menekan rasa mualku yang makin menjadi-jadi.

"Ibu bilang Kakak Vania, ya! Tetap di situ sebelum Kakak Vania  datang!" Aku menyebut nama pengasuh baru Gasendra. Gasendra hanya melirikku sekilas, lalu asik kembali dengan krayonnya.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang