"Putri Mahkota baik-baik saja." Perkataan Karna membuat Rajendra melempar tatapan tajamnya pada Chavania dan Melrose. Dua gadis itu kini saling berpandangan.
Penglihatan mereka berdua tidak mungkin salah, bukan?
Manohara memasang senyum simpulnya. Chavania dan Melrose tidak mungkin berbohong. Sisi mana Karna berada saat ini?
"Yang Putri Chavania dan Putri Melrose katakan tidak salah, Nak." Karna memandangi Manohara, membaca pikiran wanita itu. Karna tersenyum tipis.
Ia hanya bertugas menjaga keseimbangan. Tidak peduli di sisi mana ia berdiri, keseimbangan akan tetap terjaga sebagaimana semestinya.
Pupil Rajendra bergulir penuh tanya. Karna tersenyum simpul.
"Yang bisa membantu Putri Mahkota hanya kamu sendiri, Nak." Karna menaruh atensinya penuh pada mata Rajendra yang berbinar bingung. Karna mengembuskan napasnya panjang.
"Janin yang ada dalam kandungan Putri Mahkota berasal dari energi kalian berdua. Ia menyerap energi Putri Mahkota terlalu banyak karena tubuh Putri Mahkota tidak dapat menyediakan energi lain yang ia butuhkan untuk tumbuh." Karna menjelaskan. Rajendra masih mencerna. Otaknya sudah lelah untuk menelaah semua kejadian ini.
"Janin Yang Mulia tidak hanya butuh energi Putri Mahkota, tetapi juga energimu, Nak." Karna tersenyum takdzim. Wajah Rajendra yang awalnya serius seketika memerah.
Ia paham maksud Karna.
Chavania dan Melrose berpandangan, dua gadis itu justru saling sikut. Manohara berdeham canggung.
"Ada banyak cara untuk membagi energi, Nak. Sentuhan juga bisa membagikan energi." Karna membaca pikiran Rajendra, ada gelenyar geli di sudut hatinya.
Karna tahu putra mahkota di hadapannya ini memang polos dan tidak banyak pengalaman masalah seperti itu. Bahkan pada istrinya sendiri.
Rajendra mengangguk mengerti. Manohara memanggil pelayan, menyuruh mereka untuk mengantarkan troli makanan. Sebelum Rajendra sempat protes, Manohara sudah melemparkan sisi mata tajamnya.
"Kamu butuh makan kalau mau menyalurkan energimu. Makanlah," titah Manohara final, membuat Rajendra mau tak mau menuruti ibunya.
**
Kastil Bharata kini jadi istana pengungsian dadakan. Kristiano sudah menyuruh prajurit memperketat pengamanan kastil. Apalagi setelah Chavania dan Melrose datang, lalu Alamanda datang menyusul. Sendirian.
Manohara sudah kembali ke resor. Kristiano mengurut dahinya lelah. Ia tidak punya istri, tidak punya anak juga. Tetapi melihat keramaian di kastilnya sekarang ini, Kristiano rasanya seperti membuka tempat penitipan anak.
"Bagaimana Akademi Pusat?" Kristiano bertanya. Ia menyuruh Alamanda makan terlebih dahulu karena ia tahu Rajendra tidak mau diganggu. Kristiano sudah mendengar semuanya tadi.
"Baik. Semuanya baik. Aliran dana saja yang tidak lancar." Alamanda berujar skeptis. Ia tidak pernah sepesimis ini sebelumnya. Tetapi di hadapan Kristiano yang sudah seperti ayahnya sendiri, tidak ada yang perlu ia tutup-tutupi.
"Wajar. Kerajaan krisis. Situasi tidak kondusif. Yang butuh dana bukan cuma Akademi Pusat." Kata-kata tajam Kristiano membuat Alamanda memasang senyumnya. Senyum anggun nan elegan yang seperti biasa terpatri di wajahnya yang cantik.
"Tetapi pendidikan harus terus berjalan walau ada kudeta sekalipun. Ini menyangkut masa depan kerajaan." Alamanda menyendok sup yang Kristiano hidangkan. Kristiano tertawa geli.
"Beda penguasa beda prioritas juga. Kalau krisis ekonomi dan pangan, siapa yang peduli pendidikan? Siapa yang mau belajar kalau buat makan saja mereka harus bertengkar?" Kristiano tertawa. Hidupnya di militer mengajarkan ia banyak pengalaman hidup yang mengesankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficção HistóricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...