putar mulmed untuk feels lebih baik.
Dini hari, angin laut di Bharata kencang sekali. Putra Mahkota menyampirkan syal di leherku yang sudah tertutup sweter tebal. Barang-barang sudah dikemas dengan ringkas. Jenderal Besar ada di hadapanku, bersama Putri Alamanda dan Putri Chavania juga Putri Melrose.
"Baik-baik, Tuan Putri." Putri Chavania menawarkan pelukannya, membuatku balas memeluknya erat. Putri Melrose mengelus perutku lembut sebagai tanda perpisahan.
"Kita tidak tahu kapan bisa bertemu lagi," sahut Putri Alamanda, mengeluarkan sebuah buntalan dari saku gaunnya. Kantung kain yang ditutup dengan cara diserut oleh tali. Aku bisa mencium aroma teh dari kantungnya.
"Ini teh chamomile. Bagus untuk penenang kalau kamu susah tidur." Putri Alamanda menyerahkan kantung itu sembari tersenyum lembut. Aku menerimanya dengan senang hati, membalas rentangan tangan dengan memeluknya erat.
"Aman untuk ibu hamil, Sienna. Hati-hati di jalan." Putri Alamanda melepas pelukan kami. Aku mengangguk, menatapnya penuh terima kasih.
Putra Mahkota masih berpamitan dengan Jenderal Besar. Kali ini, Jenderal Besar memeluk Putra Mahkota begitu kencang. Aku bahkan melihat Jenderal Besar meneteskan air mata. Apa mataku yang salah, ya? Tetapi kini aku mengerti, hubungan mereka lebih dari sekadar pengajar dan seseorang yang diajar.
Hubungan guru dan murid lebih sakral dari itu.
"Hati-hati, Tuan Putri." Putri Melrose tersenyum teduh. Aku hanya bisa mengulum senyumku, atau aku akan menangis kencang karena suasananya terlalu sedih.
Kereta kuda kami berangkat menembus hutan. Putra Mahkota bilang kami lewat jalan alternatif. Menghindari sorotan orang-orang, juga menghindari kericuhan. Kami mencari jalan alternatif paling cepat menuju Agradhipa.
"Perjalanan masih lama sekali. Kamu tidur saja, Na." Putra Mahkota memberi saran. Aku yang daritadi melihat jendela menoleh pelan.
"Yang Mulia enggak tidur?" tanyaku informal. Seulas senyum justru terbit di wajahnya.
"Masih malam. Nanti saja kalau sudah pagi." Putra Mahkota mengelak. Aku hanya mengangguk mengerti. Rajendra berniat berjaga, karena malam lebih menyeramkan ketimbang siang.
Begitu, bukan? Perjalanan malam lebih berbahaya. Ia tidak bisa mengambil resiko untuk tidur dan bangun-bangun berada di tempat antah-berantah.
Aku mengelus perutku lembut. Tersenyum tipis, memberi kalimat-kalimat positif. Anakku harus tahu bahwa orangtuanya mencintainya. Orangtuanya menginginkan ia hadir di dunia. Anakku harus tahu, orangtuanya juga berjuang untuk menghadirkan ia di dunia.
Aku menoleh, merasakan tatapan Putra Mahkota yang intens ke arahku. Sadar ditatap balik, Putra Mahkota berdeham pelan.
"Ternyata sudah lima bulan, ya, Na?" Rajendra meminta validasi.
"Rasanya sudah seperti setahun," timpalku jujur. Pernikahan kami yang tiba-tiba, semua peristiwa yang terjadi benar-benar membuatku terpaksa berproses menjadi dewasa.
Aku bahkan seringkali lupa berapa umurku sebenarnya. Aku bahkan kadang lupa sudah berapa lama aku tinggal bersama Rajendra. Dulu aku tidak pernah mengira bisa keluar dari Kastil Agradhipa dan tinggal bersama orang lain. Tetapi saat ini aku justru menuju Kastil Agradhipa bersama pria yang belum ada setahun kukenal baik, bahkan benihnya saja sudah bertumbuh jadi janin di rahimku.
Aku mengenal Rajendra dari kecil. Maksudku, mengenal dengan baik. Dekat. Belum ada tujuh bulan, 'kan?
"Maaf belum bisa memberi kehidupan yang layak, Sienna." Rajendra menatapku lurus ke dalam bola mata. Aku menggeleng, menatapnya nanar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficción históricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...