XXXIX. Di Bawah Rembulan

1.2K 107 12
                                    

"Dayita."

Layendra mengetuk pintu kamar istrinya. Di sebelahnya ada pelayan yang membawa troli makanan. Mendesah khawatir, pria itu kembali mengetuk pintu kamar istrinya.

"Sayang," panggil Layendra lagi. Masih belum ada jawaban. Layendra menghela napas panjang.

"Dayita, keluar," pinta Layendra untuk ke sekian kali. Tatapan pria itu jatuh pada lubang kunci pintu yang membuatnya menarik napas dalam-dalam.

Pintunya memang tidak dikunci. Tetapi ia tidak bisa mengambil resiko masuk ke kamar Dayana seenak jidat.

"Ayah." Alia yang membawa buku sketsa tertahan di lorong. Gadis itu menatap ayahnya, diam untuk mengendalikan emosinya.

"Kondisi Ibu memburuk. Ayah harusnya tidak menemui Ibu." Alia menahan kepalan tangannya. Gadis itu benci fakta ayahnya yang selalu memanjakan ibunya.

"Ayah hanya mau mengecek kondisi Ibu, Alia." Layendra menggelengkan kepalanya, menatap anaknya tenang. Ia sudah terbiasa dengan kondisi ini, bertahun-tahun.

"Buat apa? Ayah mau mengabulkan keinginan Ibu lagi? Jangan gila, Yah!" Alia menggeram, matanya berkilat-kilat menatap Layendra yang hanya menghela napas panjang.

"Cukup kemarin Putra Mahkota dan Putri Mahkota menikah. Apa masih kurang? Ayah jangan gila," sambar Alia lagi, mendadak emosional.

Alia sudah tidak tahan. Buku-buku ibunya, perilaku ibunya. Sihir yang ibunya ciptakan. Teluh yang ibunya kirimkan.

Alia lelah. Alia tidak suka dengan ibunya yang selalu berlindung di balik kata sakit jiwa.

"Ayah hanya mengecek kondisi Ibu. Jaga omonganmu!" Layendra melempar tatapan tajam pada putrinya, membuat Alia mendengkus sinis.

"Aku tidak mau punya orangtua pembunuh. Seperti kalian," ketus Alia, meremas buku-buku jarinya kuat-kuat. Gadis itu berbalik, mengurungkan niat menjenguk ibunya.

Alia kira ibunya akan berhenti setelah Sienna menikah. Alia kira ibunya hanya gila sesaat, hanya dendam sesaat dan akan terlupakan seiring waktu.

Bagaimana Alia harus mengatakannya? Ketika anak yang baru saja ada harus dibunuh demi obsesi ibunya?

**

Titanic menahan napas. Peluhnya sudah mengalir di dahi, di pipi. Pedang kayu yang ada di tangannya ia gunakan untuk menangkis serangan Rajendra.

Gila. Titanic bisa benar-benar habis kalau Rajendra menggunakan pedang sungguhan.

"Mending kau istirahat, Jen." Titanic menatap sepupunya kasihan, tetapi Titanic langsung menangkis serangan mematikan Rajendra.

Gila. Hawa pembunuh Rajendra membuat Titanic merinding. Ia belum pernah bertemu sisi Rajendra yang ini.

"Aku tidak ada waktu istirahat. Kalau kau mau istirahat, panggilkan Leon." Rajendra menolak, lanjut melancarkan serangannya. Menjadikan Titanic yang awalnya niat minum santai jadi samsak.

Pria bertubuh tinggi tegap itu menatap lawannya tajam. Titanic menarik napas, melemparkan pedangnya sembarang ke tanah.

"Bebal sekali," umpat Titanic, menatap Rajendra yang masih sibuk dengan pedangnya. Gara-gara dekrit perang itu, Titanic jauh-jauh dari rumahnya ke istana.

Pelayan membawakan air. Titanic meminumnya sekali teguk. Rajendra menyerah, melempar pedangnya. Keringat sudah membasahi leher. Titanic menarik napas.

"Aku mau ikut perangmu," celetuk Titanic santai. Rajendra menatapnya tak suka.

"Tidak usah bahas perang," sinis Rajendra. Irisnya berkilat-kilat. Titanic mendecakkan lidah.

"Bilang tidak usah, lagakmu sudah siap berperang. Apa-apaan?" Titanic memutar bola matanya malas, meluruskan kaki.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang