XXXVIII. Pulang

1K 102 12
                                    

Rasanya canggung ketika menyebut istana sebagai tempat pulang. Aku merendam tubuhku dengan air hangat, merilekskan badan. Putra Mahkota bahkan langsung pergi lagi setelah mengantarku sampai Paviliun Matahari.

Semua orang sibuk. Sedikit banyak aku sebal. Aku tidak suka diperlakukan seperti pajangan, seperti tawanan. Seperti orang yang setiap saat bisa saja meninggal.

Tetapi kondisiku sekarang memang seperti itu.

Perang ada dalam kedipan mata. Aku mengelus perutku perlahan, merasakan setitik kehidupan yang tumbuh di dalam sana.

Rasanya baru kemarin aku menghadiri pesta perpisahan Akademi Dasar. Sekarang aku sudah di istana, mengandung pewaris tahta selanjutnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Teringat perkataan Rajendra tadi siang. Alasan kenapa ia mengajakku langsung pulang saat di Palguna.

"Adipati Palguna tidak boleh tahu kondisimu, Na." Putra Mahkota menatapku dalam. Aku menatapnya balik, meminta alasan.

"Aku tidak tahu dia akan jadi sekutu kita atau tidak. Untuk saat ini belum. Aku tidak mau kalau kondisimu justru jadi incaran orang-orang." Rajendra mengelus bahuku perlahan. Aku menelan ludah pahit.

Tidak mampu mengatakan apapun.

Rajendra tersenyum pilu. "Pulang, istirahat. Aku akan bilang Ibu. Kita akan mengumumkannya kalau kondisimu sudah siap." Perkataan Rajendra membuat separuh bebanku seolah menghilang, tetapi aku jadi tersenyum miris.

Sampai kapan pria itu akan menanggung semuanya sendirian?

"Yang Mulia, Yang Mulia Ratu menunggu Yang Mulia di ruang tamu." Hevina mendekat, membuat aku mengangguk pelan.

"Ambilkan aku pakaian ganti. Katakan pada Ibu, tunggu sebentar."

**

"Sehat, Sienna?" Ratu Manohara mengamatiku lama. Aku tersenyum, menganggukkan kepala.

"Sehat, Bu. Ibu sendiri, sehat?" Aku menuangkan teh ke dalam cangkir, menyodorkannya ke hadapan Ratu. Ratu Manohara memandangiku lamat-lamat, aku berdeham pelan.

"Kunjungannya, lancar?"

"Kami berhenti sampai Kalandra. Kondisiku tidak memungkinkan. Putra Mahkota meminta pulang saja." Aku menjelaskan, memutuskan jujur. Tidak ada gunanya berbohong juga. Toh Ratu Manohara juga sudah tahu.

"Apa menantu dan cucu Ibu baik-baik saja?" Setelah menahan daritadi, Ratu Manohara akhirnya menatap mataku dalam. Aku mengalihkan pandanganku, sedikit tidak nyaman.

"Aku baik-baik saja, Bu. Kandunganku juga stabil. Ibu tidak perlu khawatir." Aku berusaha meyakinkan Ratu Manohara. Ratu Manohara mengangguk pelan. Keheningan menghampiri, aku menundukkan kepala menghindari tatapan Ratu Manohara yang seolah menelanjangiku.

Setelah divonis hamil, segala macam perlakuan orang benar-benar membuat emosiku jadi bergejolak. Aku jadi lebih sensitif. Gampang merasa tidak nyaman.

Aku berdeham, memecah kecanggungan. Ratu Manohara langsung sigap menyodorkan cangkir teh ke hadapanku, yang langsung kusambut dan meminumnya seteguk.

"Ada yang harus Ibu bicarakan, Sienna." Ratu Manohara merendahkan intonasinya. Aku mengangkat kepalaku, menatap beliau penuh atensi.

"Kondisi Naladhipa semakin memburuk. Wabah memang sudah ditangani dengan baik, tetapi akhir-akhir ini sering terjadi kebakaran. Sebulan ini, kantor pemerintahan Ekalaya terbakar. Rumah dinas Jenderal Besar juga terbakar sebagian. Sekolah Pangeran Mahesa di Haridra juga," papar Ratu Manohara, membuatku terbelalak kaget.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang