LXVIII. Kesadaran

931 94 7
                                    

Aku tersedak. Baru saja Ratu Manohara pergi dan aku meminum air putihku, Rajendra justru datang dengan pakaian prajuritnya. Aku lagi-lagi membeku. Hatiku membuat perhitungan sendiri. Apakah aku harus berdiri dan menyambutnya seperti biasa? Atau aku diam saja di sini dan menunggu ia menyapa?

Tapi kakiku bergerak otomatis. Aku berdiri, melangkah menuju dirinya yang berhenti di depan sofa. Pikiranku mungkin lemot, tetapi tubuhku selalu punya refleks bagus saat berdekatan dengan Rajendra. Refleks yang selalu membuatku berlari ke arahnya, bagaimanapun dan apapun kondisinya.

Bukannya tiga hari lalu aku memintanya menceraikanku?

Aku sudah berpikir matang-matang. Perkataan Ratu Manohara tadi membuat sebagian hatiku terbakar. Beliau benar. Di dalam keluarga kerajaan tidak ada yang namanya perceraian. Menjadi ratu juga pekerjaan seumur hidup. Aku harus menyiapkan diri.

"Yang Mulia sudah makan?" Lagi. Mulutku juga refleks mengatakan hal ini. Aku benci mengakuinya, tetapi semua kebiasaan ini seolah sudah mengakar pada diriku bahkan di saat kemarin aku bertengkar dengan Rajendra.

Aku bahkan merasa seperti tidak ada apa-apa kemarin. Kulihat Rajendra seperti kaget. Pria itu berdeham, membiarkanku melepas luarannya yang kotor.

"Belum." Jawabannya membuatku mengembuskan napas lega. Aku awalnya cemas dia tidak akan menjawab pertanyaanku. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana pandangannya padaku.

Apa dia menganggapku perempuan plin-plan yang seenak jidat memutuskan kehidupan?

Atau dia menganggapku anak kecil yang semaunya sendiri?

Atau bagaimana? Aku terlanjur takut dengan persepsiku sendiri. Jadi kubuang jauh-jauh persepsiku itu. Aku berjinjit, melepas lencana matahari yang ada di dadanya, menaruhnya di kantungku.

"Yang Mulia mau mandi dulu atau langsung makan?" Aku mencoba menawari. Tiga hari tanpa Rajendra, aku menyadari beberapa hal.

Pertama, dia pemilik tempat ini. Aku hadir karenanya.

Kedua, dia putra mahkota. Menikahi putra mahkota berarti aku harus siap mencintai keseluruhan hidupnya. Negaranya. Pekerjaannya. Walau aku menjadi putri mahkota karena terpaksa sekalipun, bukankah semuanya sudah terjadi?

Ketiga, aku mencintainya.

Yang terakhir, aku menyadari aku mencintainya. Terlalu mencintainya sampai aku takut menyakitinya dengan kondisiku saat ini. Aku sakit. Aku akui, aku sakit. Aku mencintainya, dan aku tidak ingin menyakitinya. Aku ingin pergi, karena aku tidak ingin aku menyakitinya.

Tetapi keinginanku untuk pergi itu justru lebih menyakitinya, rupanya.

"Mandinya nanti saja." Rajendra menangkup bahuku. Aku memejamkan mata saat merasakan embusan napasnya terasa di tengkukku.

"Ayo kita bicara. Sambil makan. Sepertinya kamu juga belum makan," lanjut Rajendra, terang-terangan matanya memindai tubuhku dari atas ke bawah. Aku mengangguk, menyampirkan luarannya di kapstok.

**

Aku hanya menurut saat Rajendra justru memindahkan tempat makan kami jadi di luar rumah. Ini sudah malam. Walau makan malam bertabur bintang dan sinar rembulan terdengar romantis, tapi malam ini terasa dingin.

Aku mengeratkan mantel buluku yang berlapis. Aku jadi lebih gampang kedinginan. Rajendra sudah menyantap makanannya lebih dulu. Aku menghabiskan gelas susuku dan menuangkannya lagi.

Ini dingin sekali. Tidak bisakah Rajendra memilih sesuatu yang lebih normal?

Kulihat dia biasa-biasa saja. Aku tidak berminat menyentuh makananku sama sekali. Ini terlalu dingin.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang