Tanaman anggrek yang ditata sedemikian rupa indahnya. Bunga lili putih yang konon bunga kesukaan Sri Wismaya tersebar di seluruh penjuru istana.
Halaman Istana Naladhipa begitu luas. Acara peringatan kematian Mendiang Narrarya Satria dan Sri Wismaya diadakan di halaman Istana, dihadiri oleh keluarga kerajaan dan tujuhbelas adipati beserta keluarga lengkap.
Kursiku ada di antara Putri Lakeisha dan Putri Alamanda. Gaun merah hitam berlis kuning yang kukenakan jelas seragam dengan warna yang dikenakan oleh keluarga kerajaan. Putra Mahkota duduk tak jauh dari tempatku duduk, membuat napasku sedikit lebih lega.
Dari tempatku, aku bisa melihat Anargia yang mengenakan setelan biru tua dengan jubah hijau toska gelap. Aku bisa melihat orangtuaku yang duduk dengan begitu berwibawa di dekat keluarga kerajaan yang lain.
Yang Mulia Raja Arsenika turun dari tahtanya bersama sang istri, diikuti pasangan Putri Agung Airin dan Adipati Kalandra. Pangeran Agung Mahardika dan Putri Agung Bharata melangkah anggun di belakang pasangan Adipati Kalandra. Terakhir, Raja Elderick dan Ratu Laluna dari Kerajaan Navali ikut melangkah. Ratu Laluna adik bungsu Raja Arsenika.
Jarak dua langkah, Pangeran Agung Layendra Hasn dan Putri Dayana Dayita melangkah menuju lingkaran berisi kayu bakar yang menjadi simbol pembakaran mayit. Putri Agung Subadra Fihr dan suaminya, Adipati Jayalika melangkah mengikuti.
Raja Arsenika dan Ratu Manohara berdiri di sisi kanan lingkaran obor. Para pangeran dan putri agung tua berbaris di belakang Raja dan Ratu.
Kini giliran Putra Mahkota berdiri. Rajendra berdiri, berjalan ke arah tempat dudukku dan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
Aku terkesiap. Kutatap benar-benar uluran jemari Putra Mahkota yang kini ada di hadapanku. Siapapun tahu, bila aku berjalan melangkah bersama Putra Mahkota di ritual ini, itu berarti sudah jelas siapa yang akan menjadi putri mahkota selanjutnya.
"Cepat, Sienna. Ayah dan Ibu sudah menunggu," bisik Putra Mahkota lirih, membuatku menggapai jemari kokoh Putra Mahkota anggun. Aku berdiri, merapikan gaunku dan berjalan mengikuti Putra Mahkota yang kini di sisi kiri lingkaran obor, berhadapan dengan Raja Arsenika dan Ratu Manohara.
Berturut-turut Putri Alamanda dan calon suaminya, Pangeran Huraymila turun. Pangeran Agung Titanic dan Putri Theresa Ruby. Putri Lakeisha berjalan bersama sepupunya, Putra Mahkota Razhes Elderick dari Kerajaan Navali. Terakhir, Putri Chavania dan Putri Melrose mengisi barisan yang kosong di sisi kiri.
Jenderal Besar Bharata Tribuana Kristiano Alathas melangkah gagah membawa dua obor yang kemudian diterima Raja Arsenika dan Ratu Manohara.
Acara pembakaran kayu yang ditata sedemikian rupa adalah simbol pembakaran mayat Narrarya Satria dan upacara sati yang dilakoni Sri Wismaya dahulu. Upacara ini biasa dipimpin oleh Raja dan Ratu yang akan bebarengan menyalakan api dengan menyentuhkan nyala obor ke tumpukan kayu bakar.
Tetapi bola mataku bergetar begitu Raja Arsenika menyerahkan obor kepada Rajendra, yang menjadi tanda bahwa pria itu menginginkan Putra Mahkota yang memimpin ritual simbolis pembakaran mayat dan upacara sati ini.
Tanganku bergetar. Kini gantian aku yang ditatap Ratu Manohara. Wanita itu menyodorkan obornya ke hadapanku, tersenyum bangga seperti biasanya.
"Giliranmu, Sienna." Ratu Manohara menatapku penuh perhatian. Senyum bangganya selalu membuatku percaya bahwa aku bisa melakukan banyak hal.
Aku menatap obor itu ragu. Ratu Manohara menganggukkan kepalanya. Raja Arsenika tersenyum tipis.
"Terima saja, Sienna. Itu milikmu," titah Raja Arsenika, membuatku menguatkan tangan untuk mengambil obor dari tangan Ratu Manohara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Historical FictionSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...