XVI. Di Balik Rasa

1.5K 173 32
                                    

Pluvia tersenyum tipis menerima surat dari prajuritnya. Putri Mahkota Dalfon yang terkenal dengan kecantikan dan keramahannya itu duduk dengan anggun, membiarkan rambut pirangnya tergerai, melambai manja tertiup angin kencang.

Bibirnya terkatup, gadis cantik itu mencoba bernapas teratur seperti biasanya.

Hari ini hari yang tenang. Semua pekerjaannya sebagai pewaris tahta sudah selesai. Ia awalnya memilih menikmati sore dengan segelas teh sembari memandangi matahari sore di taman.

Prajuritnya datang, beringsut. Menyerahkan amplop kertas dengan pita merah, serta stempel kerajaan yang khas. Bau citrus segar yang menguar, Pluvia tentu hafal milik siapa surat itu sebenarnya.

Pluvia memandangi surat yang kini ada di genggamannya dengan jantung berdentum hebat. Ia tidak tuli, gosip tentang kekasihnya dan Nona Mandalika, putri penguasa Agradhipa jelas tersebar di seluruh penjuru negara. Bahkan sampai ke kerajaan tetangga, ke telinganya sendiri.

Pluvia menelan ludah, gadis itu berusaha menyiapkan hati.

Dari awal ia tahu Rajendra sudah diplot menjadi pewaris tahta Naladhipa. Ratu Manohara dan Raja Arsenika tentu berharap banyak pada kekasihnya itu. Pluvia tahu, Pluvia juga tahu benar bahwa ayahnya menginginkan Rajendra untuk menjadi penguasa di Dalfon, tetapi Ratu Manohara ingin Dalfon menjadi negeri jajahan sebagaimana Parameswara dahulu.

Dan tentu saja, Pluvia jelas tak akan mau.

Secinta apapun ia pada Rajendra, ia tak ingin mengorbankan kemerdekaan rakyat yang tak tahu-menahu soal apapun. Tangan lentiknya bergetar, ingin rasanya Pluvia egois untuk sekali saja.

Tetapi mengetahui Putri Mandalika yang menjadi calon putri mahkota Naladhipa jelas membuat helaan napas Pluvia semakin berat.

Agradhipa adalah ibukota Naladhipa. Dengan luas daerah lebih besar dari Dalfon, juga darah bangsawan murni dari seluruh daerah, kekuasaan Adipati Swarnabhumi yang jelas kuat, Pluvia rasanya ingin mundur saja.

Tidak hanya itu.

Pluvia sering mendengar kabar tentang Putri Mandalika, nona bangsawan yang terkenal cerdas di atas rata-rata. Memiliki kemampuan bisa melihat yang tak terlihat, belum fitur wajah memesona yang ... Ya, Pluvia mungkin tak jauh berbeda.

Ia cantik, ia kaya. Ia pintar juga. Berkuasa, malah. Tetapi hal yang jelas tak bisa ia saingi dari Putri Mandalika adalah: restu orangtua Rajendra.

"Tuan Putri," Rahayu menundukkan kepala, menyerahkan gulungan surat berbau citrus yang Pluvia yakin menjadi lanjutan dari surat yang sudah ada dalam genggamannya sekarang.

"Pergilah," titah Pluvia, pelan. Gadis itu mengembuskan napasnya kasar, membuka surat yang ia yakin pengirimnya Rajendra.

Pluvia menahan napas. Membaca bait pertama, ia sudah kenal betul tulisan siapa yang ia baca.

Terkadang angin bertiup kencang juga untuk merindu, Pluvia.

Burung berkicau juga untuk mengutarakan rasa yang mungkin tak pernah kau tahu.

Kita mungkin manusia yang saling mencinta,

Tetapi restu semesta jelas ada di tangan orangtua.

Pluvia tertawa getir. Bola mata coklat kayumanisnya sudah berkaca-kaca. Ia paham, ia sudah tahu konsekuensi mencintai seorang putra mahkota dari kerajaan besar seperti Naladhipa.

Terkadang aku melihat dirimu di pantulan danau Prajaprana. Di lain waktu, aku menatap bayanganmu di langit yang cerah menyapa.

Sayang, Tuhan memberi kita takdir yang sama baiknya walau tidak bersama.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang