Hari-hariku cukup sepi tanpa Rajendra. Adik-adikku bersekolah kembali, Putri Melrose bahkan ikut ke Akademi Dasar. Putri Chavania juga pergi ke Akademi Bangsawan. Awalnya aku mau mengekor, tetapi kondisiku yang sudah hamil besar membuat orang-orang menyuruhku untuk istirahat saja. Jadilah aku memilih duduk di taman membawa buku dan pena sembari meminum teh kamomilku.
Sejujurnya aku merasa ada yang janggal. Sudah lebih dari tiga hari Rajendra pergi tidak ada kabar. Aku cukup kesepian. Keamanan kastil yang semakin ketat membuatku tidak bisa pergi ke mana-mana.
"Ini cemilannya, Yang Mulia Tuan Putri. Selamat menikmati." Tristha menghidangkan pai apel yang aku minta tadi. Pai apel, dengan susu putih khusus ibu hamil yang memang sekarang jadi minuman wajibku.
Aku melanjutkan tulisanku. Mengonsep beberapa pelatihan, terutama tentang stunting dan pelatihan sebelum menikah, serta pelatihan menjadi orangtua. Hal yang kualami akhir-akhir ini kuterima sebagai hikmah yang diberikan Tuhan, aku jadi bisa lebih mengerti apa yang masyarakat butuhkan di era sekarang.
Satu suapan pai apel, aku mengernyit kaget sampai menjulurkan lidah. Rasanya memang asam sekali seperti ini, 'kah?
Aku buru-buru meminum susuku untuk menetralisir rasa di lidah. Tetapi herannya susunya juga rasanya aneh. Ini lidahku yang bermasalah atau bagaimana? Tristha sudah bekerja sebelum aku lahir. Masa iya menangani perkara begini saja gagal?
Masalahnya rasanya aneh sekali.
"Ada apa?" Aku malah bingung ketika Tristha menghampiriku. Bukan dengan seragam pelayan, tetapi justru seragam hitam-hitam yang aneh.
Kepalaku berdenyut. Tristha tiba-tiba mendekatiku, tetapi tubuhku tiba-tiba kehilangan energi. Lemas. Aku tidak bisa melakukan apa-apa saat Tristha merengkuh bahuku dan mengikat tanganku dengan tali.
"Maaf, Yang Mulia." Aku hanya bisa mendengar suara lirih Tristha yang familier sebelum tangannya menotok beberapa titik saraf punggungku dan menyebabkan tubuhku limbung di lengannya.
Aku memejamkan mata. Entah ini pengaruh obat atau titik sarafku yang ditotok, rasanya aku benar-benar kehilangan kesadaranku.
Dan ini bukan hal yang bagus.
**
"Fokus, Putra Mahkota!" Kristiano meneriaki Rajendra yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan, membuat para pengawal ikut berhenti karena tuannya berhenti.
Mereka habis menyisir vila tempat Putri Dayana disinyalir tinggal. Herannya semua kosong, tidak ada jejak apapun yang menyebabkan mereka harus mencari petunjuk untuk melanjutkan perjalanan.
Rajendra menoleh ke belakang, menghentak tali kekang kudanya keras. Entah kenapa firasatnya tidak enak. Ada gelenyar aneh yang merambat di hatinya, membuat Rajendra tidak bisa fokus melanjutkan perjalanan.
"Jangan pimpin pasukan kalau kau tidak siap!" seru Kristiano lagi, memberi peringatan. Rajendra terperangah, segera ia hentikan kudanya dan berbalik ke arah sang guru. Aryandra Dewanata cukup terkejut. Pasalnya keberadaan Rajendra ada untuk menggantikan Kristiano yang diskors sementara karena Aryandra tidak mau Kristiano menghancurkan operasi mereka.
"Ada hal yang mengganggu, Putra Mahkota?" Aryandra menyahut. Rajendra tidak biasanya tampak linglung seperti ini. Sudah lebih dari empat hari mereka berjalan bersama Rajendra dan Rajendra tidak pernah terlihat seperti kehilangan arah. Ia tangkas dan cerdik di medan perang.
Rajendra menghentikan kudanya, membuat segitiga antara ia, Kepala Polisi, dan sang guru. Kristiano menatapnya tajam. Ia tak suka punya murid lembek.
"Waktu kita tidak boleh terbuang, Putra Mahkota," peringat Kristiano dengan tatapan tajamnya. Rajendra menarik napas, menggelengkan kepalanya berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Tarihi KurguSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...