LV. Hak Milik

911 84 13
                                    

Aku memakan manggaku di atas ranjang. Setelah semua hasil pemeriksaan menyatakan kondisiku sehat, dan pencernaanku baik-baik saja, Ibu membawakan buah-buahan yang sudah dipotong untuk kumakan. Juga daging-dagingan, aku butuh banyak protein. Apalagi setelah pingsan.

Pingsan, 'kah? Jujur saja aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya aku alami dari kemarin.

Aku masih merasa semua ini seperti mimpi. Lorong panjang tidak berujung itu benar-benar mimpi buruk bagiku. Berjalan sendirian tanpa tujuan, tanpa kepastian. Tanpa orang-orang yang aku sayangi.

"Pasti ada banyak hal yang terjadi, Yang Mulia?" Aku menyuapkan potongan manggaku ke mulut Rajendra yang langsung diterimanya lahap.

Rajendra daritadi sibuk sekali bolak-balik koridor. Aku sungkan menanyai orang-orang. Terlebih kastilku kini dipenuhi para pangeran juga orang-orang yang berada di kubu kami. Tetapi aku merasa berhak mendapat penjelasan Rajendra atas pertanyaanku.

"Sangat." Rajendra mengunyah potongan mangganya. Aku kembali menyuapkan buah, kali ini pepaya. Senyum tipis tercetak di wajahku saat melihat Rajendra mengunyah buah dengan lahap.

Kondisinya tidak lebih baik dariku. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia benar-benar kurang tidur. Kupikir ia juga kelelahan. Rajendra tampak kacau.

"Aku menyerang Ekalaya," tutur Putra Mahkota. Aku menatapnya kaget. Kalimatnya yang terdengar sangat datar dan simpel itu terdengar seperti sambaran petir di telingaku.

"Kenapa?"

"Salahnya. Mereka menyihirmu. Aku hanya mengirim peringatan." Rajendra menunjuk potongan buah, minta disuapi lagi. Mataku membola tak percaya.

"Lalu? Ada apa lagi yang terjadi?" Aku kembali bertanya, penasaran. Kastilku jadi seramai ini. Tentu ada sebuah gebrakan. Tidak semata-mata konsolidasi dadakan.

"Operasi penangkapan Bibi Dayana oleh militer dan kepolisian." Rajendra seolah enggan menjelaskan, memilih mengambil garpu dariku dan mengambil apel yang sudah dipotong-potong.

Aku terperangah. Jadi daritadi aku makan dengan tenang itu, situasinya sangat mencekam? Kenapa Ibu tidak bilang apa- apa? Rajendra juga kalau tidak ditanya pasti tidak akan bercerita.

"Jangan merasa bersalah. Semua itu bukan salahmu." Rajendra menatap rautku yang tampak sendu. Apa ekspresiku seterang itu? Aku tersenyum lembut, menggelengkan kepala.

"Aku tidak menyalahkan diriku sendiri, kok. Aku hanya bertanya apa yang terjadi." Aku menyanggah, memakan dagingku pelan. Rajendra mengambil anak rambutku, menyelipkannya di belakang telinga.

"Wajahmu seperti mau menangis. Aku tidak suka. Berhenti menyalahkan dirimu untuk hal yang di luar kendalimu." Rajendra menatapku serius. Aku terperangah. Jarang sekali aku melihat sisi Rajendra yang tegar dan terkesan jahat ini.

Tidak apa. Aku menyukainya.

Sisi Rajendra yang ini membuatku merasa aman. Membuatku merasa dilindungi.

"Yang Mulia tidak ikut operasi penangkapan itu?" Aku bertanya lagi. Sepertinya ia kesal menjawab pertanyaanku yang bertubi-tubi. Ia melirikku sekilas, lalu memakan anggur.

"Kamu mau mengusirku?" dengusnya. Aku tertawa. Bukan itu maksudku, sih. Tapi Rajendra 'kan biasa suka berperang. Bagi pria, mengalahkan sesuatu adalah kebanggaan dan kehormatan besar. Jangankan pria, wanita pun sama, bukan?

"Bukan begitu, Kak." Aku memanggilnya lebih intim. Ia jadi menatapku lamat-lamat.

"Kalau begitu, kamu mengizinkan kalau sekarang aku pergi?"

Manik mata Rajendra menatapku semakin dalam. Menguarkan energi yang benar-benar terasa menyesakkan. Aku belum pernah melihat sisi Rajendra yang ini. Yang seolah dingin, marah, benci, tapi ia menutupinya dengan baik. Ada sedikit rasa putus asa, rasa sedih. Tetapi ia memutuskan menutupinya dengan rautnya yang tampak sangat biasa saja.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang