XXIX. Wabah

1.1K 117 30
                                    

Aku segera menyelesaikan makanku. Putra Mahkota hanya diam, menungguku selesai makan. Daritadi tatapannya kosong. Aku paham, ini hari yang berat untuknya.

Ini hari yang berat untukku juga.

Perkataan Ratu Manohara terngiang, aku tidak bisa tidak memikirkannya. Anakku nanti adalah bagian dari masa depan Naladhipa. Peperangan yang sudah dimulai dalam senyap, aku juga harus memikirkan keselamatanku sendiri.

Pernikahan, penyelidikan. Pelatihan pendidikan, semuanya berpilin berkelindan di benakku jadi satu.

"Tinggal dua minggu lebih kita akan menikah. Aku berniat membicarakan perjanjian pranikah, Sienna." Putra Mahkota memandangiku. Ada sorot mata yang tidak seperti biasanya.

Sorot mata yang seolah mengandung jarak, mengandung keprihatinan. Kecemasan, ketakutan.

"Silakan." Aku mengangguk menyetujui. Perjanjian pranikah sangat penting. Apalagi aku akan menikahi Putra Mahkota.

Pria yang akan naik tahta dan menjadi raja.

Prospek Putra Mahkota yang sepertinya masih gagal move on juga menjadi nilai tambah kenapa aku harus membicarakan perjanjian pranikah. Lazim bagi seorang raja berpoligami, tetapi aku jelas tidak ingin dimadu.

"Pertama, aku tidak ingin dipoligami, Yang Mulia." Aku membuka topik. Aku sudah pernah mengutarakan hal ini, tetapi aku kembali mempertegas.

Poligami ... Kakekku yang berpoligami membuat semua masalah ini begitu rumit. Andai dulu Kakek tidak poligami, tentu Sri Wismaya dan Dayana Dayita tidak akan pernah ada.

Aku tiba-tiba tersenyum sinis. Putra Mahkota memandangiku, mengangguk.

"Aku akan mengusahakannya," balasnya, tetapi justru membuatku kian tak tenang.

Balasan Putra Mahkota seolah memberi sinyal ia akan melakukannya suatu saat nanti.

"Aku berencana menunda memiliki anak, Sienna." Putra Mahkota langsung ke duduk perkara, suatu hal yang sudah kuduga sebelumnya.

Gelagatnya dari tadi tampak berbeda. Wajahnya kuyu, tampak kelelahan. Pria itu pasti juga memikirkan hal ini.

Tentang anak yang sudah diincar padahal ada saja belum.

"Sesuai kehendak Yang Mulia kalau begitu." Aku setuju. Aku juga belum bisa membayangkan memiliki anak di usia semuda ini.

"Bibi Dayana mengincar calon anak kita." Putra Mahkota berdeham. Pria itu sedikit memalingkan mukanya, aku tahu ia merasa tak enak.

"Umurmu masih muda sekali. Aku juga tidak mau mengambil resiko. Menunda lebih baik," tambah Putra Mahkota. Aku mendadak teringat kata-kata Ratu Manohara.

Bagaimana dengan suara di luaran? Mereka pasti menuntut pewaris tahta secepat mungkin.

"Yang lain tidak usah dipikirkan dulu." Putra Mahkota seolah membaca pikiranku. Aku mengangguk pelan. Putra Mahkota pasti sudah mempertimbangkan banyak hal.

"Ibu dan yang lainnya biar aku yang urus," sambungnya final. Aku lagi-lagi mengangguk setuju.

Sudah seharusnya aku mempercayai Putra Mahkota, walau ada sedikit rasa mengganjal yang tidak bisa aku jelaskan bagaimananya.

**

Rajendra membisu. Paviliun Matahari yang terasa hangat semenjak kedatangan Sienna mendadak menjelma jadi angin kencang yang menusuk. Permintaan Sienna membuatnya ragu.

Naladhipa tetap butuh pewaris, tetapi ia juga tidak ingin Sienna terluka.

Jalan satu-satunya adalah memiliki pewaris dengan mengambil selir, tetapi Sienna jelas akan menentangnya.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang