LXXXI. Orangtua

900 79 30
                                    

Berita lamaran Putri Hiraani dengan Pangeran Alam membuat dadaku jadi berdebar terus. Sudah morning sickness, ditambah berita keluarga kerajaan yang tak habis-habis. Pers istana pasti sibuk sekali. Belum sempat Ibu Ratu memanggilku ke istana untuk masalah Putri Lakeisha, ini sudah muncul masalah baru lagi.

Dan Rajendra dengan santai bilang itu pekerjaan Titanic. Aduh. Aku mengelus perutku pelan. Aku harus betul-betul menjaga omongan. Kasihan anakku nanti kalau aku sembarangan berbicara.

"Pers istana sudah bekerja. Kamu jangan terlalu diforsir." Rajendra memperingatiku. Aku yang tergolek lemah di ranjang setelah muntah habis sarapan hanya bisa diam.

Sebetulnya menanggulangi berita-berita seperti ini tidak termasuk pekerjaanku sebagai putri mahkota. Ada bagian pers istana yang bisa mengurus semuanya. Hanya saja kalau masalah pernikahan, Ibu Ratu selalu memanggilku sebagai wakilnya. Penanganan rumah tangga kerajaan adalah tugas wanita istana, dan aku sebagai putri mahkota bertanggungjawab atas pengaturan keluarga kerajaan agar jangan sampai nama baik kerajaan tercemar karena skandal.

Putri mahkota juga bertanggungjawab atas pendidikan anggota keluarga kerajaan. Reputasi anggota keluarga kerajaan. Itu salah satu sebab kenapa Putri Lakeisha menemuiku lebih dulu ketimbang ibunya. Selain karena dia butuh bantuan, aku termasuk salah satu orang yang bertanggungjawab agar nama kerajaan tidak sampai jatuh di mata rakyat apalagi negara lain.

"Aku cuma kepikiran Putri Lakeisha saja." Aku menatap lurus Rajendra yang duduk di sisi ranjang sembari menyisir rambutnya. Rajendra menarik napas panjang.

Ini juga pukulan berat baginya. Lakeisha adik semata wayang dan adik kesayangannya. Seseorang sesempurna Putri Lakeisha mendapatkan tunangan seperti Dimitri yang nyaris tanpa cela tapi gay, aku sendiri cukup terpukul.

Hanya saja aku penasaran satu hal. Aku tergerak untuk memandangi Rajendra lamat-lamat. "Kak." Aku menarik ujung pakaiannya. Masalah Lakeisha membuatku terpikir sesuatu.

"Seandainya kasus Pangeran Dimitri tidak masuk berita, seandainya media tidak menyorot tetapi kamu dan Ayah juga Ibu sudah tahu--" Kerongkonganku tercekat. Rajendra menatapku penuh atensinya. "--Apa pertunangan Lakeisha tetap akan dibatalkan?"

Sejauh aku menjadi anggota keluarga kerajaan aku cukup merasa beruntung Ayah Raja dan Ibu Ratu tidak sekotor yang aku bayangkan. Mereka negarawan yang memikirkan rakyat. Aku tidak naif, selalu ada cara dan taktik yang sedikit gelap. Aku bisa memakluminya.

Tetapi bila ini berkaitan dengan putri kesayangan mereka sendiri, aku penasaran. Aku selalu sensitif bila berkaitan dengan orangtua.

Tidak semua orang beruntung memiliki orangtua sepertiku. Ayah dan ibuku yang selalu mendukungku bahkan di saat mereka harus rela melepasku. Ayah dan ibuku yang selalu merasa bahwa mereka orangtuaku dan bertanggungjawab atasku bahkan di saat aku sudah jadi putri mahkota. Orangtuaku yang berdaya mendukungku dan bahkan tidak gentar berhadapan dengan Raja dan Ratu sekalipun bila bersangkutan dengan anaknya.

Orangtuaku tidak pernah menjualku untuk kepentingan mereka. Orangtuaku tidak pernah menawarkanku sebagai opsi bahkan saat orangtuaku terpuruk. Orangtuaku yang memberiku pilihan bahkan di saat sebetulnya kerajaan tidak memberi kami pilihan.

Walau pada akhirnya aku tetap masuk istana, tetapi aku memang masuk istana karena ingin. Karena ini memang pilihanku sendiri. Orangtuaku bahkan memberiku pilihan untuk menolak bahkan di saat aku tahu Raja dan Ratu sebetulnya tidak menerima penolakan.

Aku jadi rindu orangtuaku. Sepertinya aku harus mengunjungi mereka setelah ini.

"Kenapa repot-repot? Kita bisa bermain tanpa harus mengotori tangan kita sendiri." Jawaban Rajendra memantik senyumanku. Selalu, sisi Rajendra yang ini membuat senyumku tak bisa lepas.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang