XXIV. Prinsip

1.2K 144 21
                                    

Aku meneliti berkas apotek filantropi yang baru saja datang. Putri Alamanda, selain mengajakku berdonasi, sebenarnya wanita itu mengajakku berbisnis. Untuk membangun jaringan apotek, Putri Alamanda punya Pangeran Mahesa sebagai jantung utama pendonor bisnisnya.

Putri Alamanda jelas tak butuh uang orangtuaku. Wanita itu benar-benar tulus, menurutku, dia hanya ingin mengajarkanku bagaimana seorang putri harusnya bersikap dalam pemerintahan. Bagaimana seorang putri bisa berkontribusi untuk rakyat, bukan hanya duduk manis di rumah menunggu suaminya pulang.

Adalah fakta Putri Alamanda menggunakan namaku juga untuk mendapat dukungan. Tapi apalah arti namaku kalau dukungan yang Putri Alamanda sendiri dapatkan sudah sangat banyak?

Putri yang sangat rendah hati, aku jelas sangat menaruh respek padanya.

Keadaan Putra Mahkota sudah membaik. Ternyata pria itu tidak hanya alergi obat-obatan tertentu, tetapi juga alergi debu dan dingin. Bertahan di akademi militer, aku tidak bisa membayangkan bagaimana Putra Mahkota berjuang selama ini.

Aku sendiri agak syok mendengarnya. Bagaimana cara pria itu mengatasi alerginya selama sekolah dan berperang?

Sensitivitasnya tinggi. Aku menghela napas panjang. Menata kertas di ujung meja, aku memutuskan untuk tiduran di ranjang.

Alerginya pasti sudah membaik seiring waktu. Putra Mahkota pria yang hebat, aku yakin ia bisa mengatasinya.

Seperti ia yang percaya kepadaku dan tetap memakan makanannya, aku akan percaya kepadanya bahwa dia bisa mengatasinya.

Mengatasi semua masalah yang semakin ke sini semakin tampak nyata.

**

Pagi hari, aku memutuskan mengantar makanan Putra Mahkota ke kamar. Kondisinya memang sudah baikan, tetapi aku tetap tidak tega melihatnya. Dia harus beristirahat.

Setelah mengantarkan makanan, aku memutuskan pergi ke dapur. Hari ini aku kosong. Tetapi aku berniat membuat resume dari pelatihan kemarin, dan membuat konsep untuk pelatihan selanjutnya, yang mungkin akan terlaksana setelah aku menikah.

Kuakui, bahan-bahan makanan di Paviliun Matahari memang super lengkap. Pelayan mempersilakanku mengambil-alih dapur. Aku memutuskan membuat wafel dengan stik sebagai cemilan. Tidak perlu waktu lama, aku menuangkan adonan ke dalam cetakan, menunggunya, lalu--ya!

Wafelku matang sempurna dengan bau harum yang sangat, uh, aku suka! Kutaburkan chocochips, keju, dan cokelat leleh. Menatanya di piring, aku menyisihkan beberapa tusuk untuk dibawa ke kamar Putra Mahkota.

Tidak etis kalau aku makan sendiri, di saat pria itu sedang tidak enak badan. Terkesan tidak sopan.

"Tolong bawakan ini ke kamar Putra Mahkota," pintaku, salah satu pelayan langsung mengambil nampannya dan berjalan mengikutiku ke koridor.

Apa aku membuat pelatihan memasak saja, ya? Sekaligus pelatihan berwirausaha. Mereka bisa menjual makanan mereka di pasar, setidaknya itu bisa membantu perekonomian mereka.

Tetapi di persimpangan tepat menuju kamar Putra Mahkota, aku menelan ludah kasar. Pria bertubuh tinggi tegap kurus tetapi bahunya bidang itu menatapku kaget. Kumis tipisnya, alis dan hidung mancung khas kampung Arab itu ...

Pangeran Huraymila, calon suami Putri Alamanda. Atau simpelnya, Pangeran Mahesa.

"Salam, Yang Mulia." Aku menunduk sekilas. Posisiku sekarang, sebagai putri Adipati, aku setara dengan pria di hadapanku ini.

Tetapi karena dia lebih tua, dan yaa. Dia calon suami Putri Alamanda, aku akan menghormatinya sebagai calon sepupu ipar yang baik.

Mata pria itu memicing. Aku tersenyum saat pria itu membungkuk membalas penghormatanku. Masih teringat tatapan tidak suka Pangeran Huraymila saat kami pertama bertemu di panti asuhan--saat aku bersama Anargia dulu.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang