XCVI. Penobatan [END]

810 58 20
                                    

Semuanya terasa seperti mimpi.

Aku berdiri di sini, di hadapan patung Dewi Yustisia. Di hadapan lambang negara Naladhipa. Di hadapan Ayah Arsenika dan Ibu Manohara.

Di sampingku, ada Rajendra.

Rajendra sudah selesai membaca ikrarnya. Ibu Manoharalah yang memasangkan mahkota emas putih dengan aksen batu safir di tengah pada kepala Rajendra. Jantungku berdentum. Gasendra berdiri di antara Ibu Manohara dan Ayah Arsenika, anak itu menatap kami berdua begitu antusias.

"Aku, Narrarya Arsenika Rajendra Rajasanegara sebagai Raja Naladhipa, memilihmu, Agradhipa Mandalika Ayudia Sienna sebagai ratuku dan ibu negara." Rajendra mengambil tiara emas berhiaskan batu rubi merah. Jubah ratuku berkibar tertiup angin. Kamera memotret kami, aku menatap mata hitam kebiruan Rajendra yang beradu tatap dengan milikku.

"Aku, Agradhipa Mandalika Ayudia Sienna, berikrar sebagai ratu dan ibu negara Naladhipa. Demi Naladhipa, demi kejayaan matahari dan neraca, aku bersumpah melindungi kerajaanku, mengutamakan kerajaanku, memakmurkan kerajaanku, berbakti pada kerajaanku." Kerongkonganku tercekat. Ikrar ini membuat suaraku bergetar. Rajendra menatapku, membimbingku pelan dengan gesturnya.

"Aku bersumpah demi Dewi Yustisia untuk melindungi dan mengutamakan kejayaan dan kemakmuran Naladhipa."

Bibirku bergetar. Aku bisa melihat tangan Rajendra yang bergetar memegang tiara emas berhiaskan batu rubi merah yang kini pelan-pelan ia letakkan di atas kepalaku. Aku berdiri tegak, menatap matanya yang kini menunduk, kepalanya merunduk, aku memejamkan mata.

Bibirnya itu hinggap di keningku begitu lama.

"Yang Terhormat Yang Maha Diberkati Sri Baginda Raja Narrarya Arsenika Rajendra Rajasanegara dan Yang Terhormat Yang Maha Diberkati Sri Baginda Ratu Agradhipa Mandalika Ayudia Sienna, kami, Narrarya Arsenika Sandhya Syahdana dan Haridra Pikatan Pradnya Manohara menerima ikrar kalian berdua. Semoga Tuhan selalu memberkati dan melindungi kalian!"

Aku bisa melihat Ayah Arsenika dan Ibu Manohara yang melakukan sembah hormat sebagai tanda bahwa kekuasaan telah dipindahtanganku. Mataku memejam mendengar seruan orang-orang mengelu-elukan kami. Angin berembus sejuk, aku bisa merasakan Ratu Harshita dan Raja Sadendra berdiri di hadapan kami berdua sembari tersenyum hangat.

Di sisi lainnya, Raja Satria dan Ratu Wismaya tersenyum lega. Bibiku itu begitu cantik dengan gaun biru mudanya, mengambang anggun menatap kami berdua dengan senyum begitu cerah.

Di lain sisi, bayangan Pangeran Layendra dan Bibi Dayana hinggap, begitu pula Adipati Arjuna Hakim. Aku sungguh-sungguh memohon kepada Tuhan, semoga mereka diampuni. Kadangkala monster paling jahat justru tercipta dari lingkungan penuh kilau kemewahan. Aku juga meminta, semoga tidak ada monster-monster lain yang tercipta.

Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menghadapi semuanya. 

"Ayo, Na. Kita harus turun." Jemari Rajendra menelusup, memasuki sela-sela jariku lembut, menggenggamnya erat. Aku melepasnya, ganti menautkan lenganku pada lengannya yang kokoh.

Kami berjalan menuruni tangga diiringi alunan alat musik tradisional dan suara rakyat yang mengelu-elukan kami. Aku menarik kedua sudut bibirku terangkat. Langkahku terhenti saat Rajendra menghentikan langkahnya, berbalik, suamiku itu berjongkok dengan kedua tangan merentang siap menangkap Gasendra yang berlari menuruni tangga untuk menyusul kami.

"Kenapa Ayah dan Ibu meninggalkan aku?" protesnya lucu. Rajendra hanya bisa tertawa, mengangkat Gasendra dan mendekapnya dalam gendongannya. Suara blitz kamera memenuhi pendengaranku. 

Kami melangkah lagi. Dari tempatku aku bisa melihat Ayah dan Ibu yang menatapku bangga dengan mata berkaca-kaca. Ayah Arsenika dan Ibu Manohara yang menatapku penuh dengan rasa percaya. Kakiku melemah. Satu demi satu keluarga kerajaan membungkuk hormat. Aku mendongakkan kepala, kutatap Rajendra yang berjalan dengan senyumnya sembari menggendong Gasendra yang tampak tersenyum bangga.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang