LIX. Pirus

768 94 23
                                    

Setiap manusia memiliki batas kekuatan, dan aku sekarang ada di batas kekuatan itu. Aku ada dalam kondisi sadar tidak sadar. Dengan perut yang rasanya benar-benar seperti mau diledakkan. Sekujur tubuh yang terasa lemas karena aku bahkan juga belum makan entah dari kapan. Ditambah janinku yang terus-menerus menyerap energiku karena tidak ada Rajendra di sisiku. Siksaan Dayana Dayita syukurnya membuatku mati rasa. Bukan, bukan mati rasa. Lebih tepatnya aku berada dalam ambang ketidaksadaran, dunia di dalam dunia yang aku bahkan tidak tahu saat ini aku di dimensi mana. Aku tidak tahu apakah aku sudah mati atau belum.

Aku hanya melihat cahaya dan cahaya. Berjalan terus-menerus pada cahaya tak berujung yang kemudian membawaku pada hamparan rumput dengan bunga heliconia khas negara tropis yang membuatku merasa pulang.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana kondisi asliku di dunia yang aku tempati. Aku lupa bagaimana rasanya mati. Seingatku aku sudah mati sebelum terlahir kembali jadi Sienna, bukan? Tetapi bukankah kita hanya hidup satu kali untuk kemudian kembali pada Yang Kuasa? Lalu sebenarnya kehidupan apa saat ini yang aku jalani? Atau sebenarnya aku tidak pernah benar-benar mati?

Atau jangan-jangan, ingatanku di kehidupan sebelumnya hanyalah ilusi? Karena hidupku saat ini terasa sangat nyata. Sangat-sangat nyata hingga aku tidak ingin kehilangan Rajendra. Aku tidak ingin kehilangan anakku. Mertuaku, orangtuaku. Kerajaanku, kolegaku. Rakyatku. Aku masih punya banyak impian yang harus aku wujudkan.

Aku kembali menyusuri jalan, entah bagaimana bisa aku berada di istana versi jauh di zaman lampau. Aku ingat inilah bentuk istana saat aku masih kecil. Belum semewah dan semegah saat ini. Aku melangkahkan kakiku, menatap bangunan klasik yang tampak indah diterpa sinar matahari yang aku bahkan tidak tahu di mana letak mataharinya.

Apakah ini surga? Tetapi apa iya aku akan masuk surga dengan banyak amal buruk yang aku lakukan?

Aku terus melangkah. Mataku memicing saat melihat sepasang manusia yang cukup sepuh tetapi masih tegap berjalan ke arahku. Wanita dengan mahkota emas, wajah yang mirip dengan Putri Agung Airin. Sementara pria di sebelahnya, kuyakin suaminya, mirip dengan Raja Arsenika. Lebih tepatnya, mirip dengan Rajendra. Versi jauh lebih tua dan pendek karena faktor usia.

Apa ini Yang Mulia Ratu Harshita dan Yang Mulia Raja Sadendra? Sebenarnya, di manakah aku saat ini?

Aku melangkah maju. Beliau berdua berhenti di hadapanku. Wajah mereka yang teduh, kilauan mahkota yang tertimpa sinar entah dari mana. Aku mengerjapkan mata saat tiba-tiba seorang anak laki-laki datang ke arahku dan memintaku untuk menggendongnya.

Anak ini ... Siapa, ya? Dipikir-pikir wajahnya mirip Pangeran Titanic. Tetapi bukan. Kulihat juga wajah Pangeran Alam di wajah anak ini, tetapi bukan juga. Kulihat sosok Pangeran Mahkota Razhes dari Navali yang masih kecil di wajahnya, tetapi juga bukan. Apa iya ini anakku? Tetapi tanganku seketika beralih menggendongnya, mengayun-ayunkan tubuhnya di hadapan pasangan ini.

Ratu Harshita menatapku senang dengan senyumnya yang bahagia. Aku mengerjapkan mata. Raja Sadendra tersenyum teduh. Anak di dalam gendonganku ikut tersenyum kepadaku.

"Aku titip Naladhipa padamu, ya?" Suara riang yang keluar dari mulut Ratu Harshita membuatku terperangah takjub. Aku mengerjapkan mataku pelan. Angin sepoi-sepoi berembus entah darimana.

Tiba-tiba saja aku berada di tempat yang lain. Ratu Harshita dan Raja Sadendra hilang. Begitu juga anak laki-laki tadi. Hilang begitu saja entah di mana. Aku kembali berada di sebuah taman yang indah. Bunga geranium, glory of the snow. Aku jadi ingat taman biru milik Kastil Bharata.

Kenangan tentang mangga dan Putra Mahkota menyelinap indah di benakku. Aku tersenyum getir. Apa semua ini ujungnya? Apa iya aku harus mati saat ini juga?

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang