Beberapa hari kulalui dengan berat. Kesendirian di dalam istana sangat menyiksa. Aku harus muntah berkali-kali untuk terlihat baik-baik saja.
Seluruh sudut istana membuat pikiranku melayang-layang. Aku harus menegakkan kakiku kuat-kuat. Menguatkan tubuhku yang lemas seiring waktu. Aku membenci fakta aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.
"Tidak usah terlalu memaksakan diri. Istirahat dulu saja." Rajendra menatapku jerih. Aku menggelengkan kepala. Aku bisa gila ketika beristirahat terlalu lama.
Dinding-dinding kamarku seolah berteriak menyuarakan kenangan-kenangan yang ingin aku lupakan. Ruang kerja Rajendra lebih baik. Setidaknya aku tidak perlu bertarung dengan batinku sendiri.
Walau sebetulnya sama menyesakkannya.
"Aku mau di sini saja." Aku merebahkan tubuhku, menyandarkan kepalaku di sofa. Rajendra yang duduk di kursi kerjanya dan buku-buku yang ada di ruang kerja Rajendra membuat hatiku lebih tenang.
"Mau tidur di sini? Aku akan minta pelayan mengambilkan kasur." Rajendra menawari. Aku menggelengkan kepala. Sesaat kemudian ruangan kembali hening. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Aku sibuk dengan hatiku sendiri.
Semua ini seperti membunuhku perlahan-lahan. Aku kehilangan hidupku. Aku tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Aku benar-benar tidak tahu petanya. Aku tidak tahu kondisi di luar seperti apa. Aku tidak tahu apa saja yang sudah terjadi selama aku tidak sadarkan diri.
Ketidaktahuan ini menyiksaku.
Rajendra masih sibuk dengan dokumen-dokumennya. Laporan-laporannya. Aku penasaran, berniat ingin bertanya. Namun urung. Rajendra sudah menatapku lebih dulu, seolah bisa membaca isi hatiku.
"Sienna, ada yang mau aku bicarakan." Rajendra beranjak dari kursi kerjanya dan duduk di sebelahku. Aku menoleh, memerhatikan sudut matanya yang selama ini aku rindukan.
Hal ini terasa nyata. Aku mencubit lenganku sendiri. Ternyata betul-betul nyata.
"Bicara saja. Ada apa memangnya?" Kurasakan nadaku sedikit berbeda. Pusing kembali mendera kepalaku. Aku memijat pelipisku perlahan.
Aku seperti melihat kunang-kunang banyak.
"Kamu, uhm, bukan. Bagaimana kalau kita ke psikiater bersama, Na?" Rajendra berdeham, meraih tanganku yang menjadi favoritnya untuk sekadar dielus. Pupilku membola. Ajakannya membuatku menyipitkan mata.
"Sakit?" Aku justru bertanya balik. Beban seberat ini memang membuatku hampir gila. Tetapi kurasa aku tidak butuh psikiater. Menceritakan seluruh luka sama saja membuatku kembali pada kubangan luka, bukan?
Aku takut.
"Enggak akan sakit. Enggak akan." Rajendra membujukku dengan nadanya yang mendayu-dayu. Aku terdiam dengan mata hampir terpejam.
Aku tidak bisa berpikir. Sejujurnya aku benar-benar tidak bisa berpikir. Semua hal yang terjadi seolah merenggut kewarasanku. Aku ingin pulang dan kembali ke masa di mana aku tidak usah memikirkan apapun.
"Kalau aku tidak mau?" Aku ingin pergi saja.
Wajah Rajendra berubah. Jemarinya yang panjang dan besar itu menangkup kedua bahuku. Aku menekan rasa nyeri yang mendesak jantungku.
"Masih ada banyak waktu. Aku enggak akan memaksa. Tetapi kalau semuanya memburuk, bilang." Rajendra memberi ultimatum. Aku menganggukkan kepalaku yang terasa berat.
Bagian paling beratnya adalah menyadari bahwa kondisiku semakin memburuk semakin hari. Dan itu membuatku tambah sakit hati.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficción históricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...