Hari ini pelatihanku sudah dimulai. Pelatihan menjadi ratu ternyata sangat melelahkan. Hari pertama, aku berkeliling istana bersama kepala dayang. Paramita, namanya.
Selama ini aku asing dengan namanya. Kepala dayang belum terlalu tua, kutebak umurnya seumuran Ratu Manohara.
Ini semacam masa pengenalan lingkungan sekolah, tetapi bedanya ini istana. Ratu Manohara sempat mengantar di awal-awal, beliau mengenalkanku pada sekretaris Istana yang bertugas mengurusi pembukuan uang.
Salah satu tugas Ratu adalah mengurusi aliran uang di Istana, dengan Putri Mahkota sebagai pengawas. Kenapa pengawas? Karena adakalanya Ratu bisa menjadi begitu korup.
Yaa, kita tidak pernah mengerti isi hati manusia seperti apa, 'kan?
Pulang, Putra Mahkota belum sampai di paviliunnya. Aku lelah, tetapi tubuhku sedang penuh energi positif.
Ada baiknya aku belajar memasak di dapur saja. Aku suka memasak.
**
Ruangan tersembunyi yang terletak di bawah tanah Taman Prajaprana itu lengang. Hanya ada suara Titanic menuang sirup.
Rajendra terdiam. Ucapan-ucapan Mahesa tadi semakin menggelitik batinnya.
Perang, menurut Mahesa memang begitu darurat. Rajendra mendengkus, ia tidak setuju ide ini.
Bagaimanapun, Rajendra tidak pernah suka perang.
"Mahesa benar, bung. Kita tetap butuh perang." Titanic tersenyum santai. Pria itu suka perang. Ketimbang duduk diam menstempel dan membaca dokumen, Titanic lebih suka berkuda dan menghunus pedangnya.
Menurut Titanic, itu lebih keren daripada duduk di kursi hanya menstempel dokumen dan makan-makan. Itu membuat perutnya membuncit.
"Sebulan lagi aku menikah, apa aku harus meninggalkan Sienna begitu saja?" Rajendra menatap Mahesa, meminta pendapat. Karena kalau yang ia tanya Titanic, pria itu pasti tidak akan menjawab serius.
Mahesa justru tertawa. "Aku dan Alamanda menikah tahun ini, kupikir perang tidak akan menjadi penghambat pernikahan. Tapi kalau kau khawatir, menikahlah lebih dulu."
Kening Rajendra mengerut. Tetapi ucapan Mahesa selanjutnya membuatnya mengangguk-angguk.
"Setidaknya kalau kau menikah lebih dulu, istana tidak akan kosong. Kalau amit-amit kau meninggal di medan perang, setidaknya masih ada potensi kau punya penerus tahta kalau kau menikah," jelas Mahesa, membuat Rajendra bungkam mendadak.
Mahesa melihat ekspresi Rajendra yang tampak merenung. Berbanding terbalik dengan Titanic yang menahan tawa, pria itu bertaruh Rajendra sudah memikirkan hal-hal aneh di benaknya.
"Kasihan sekali istriku, seolah cuma jadi alat untuk melahirkan keturunanku," celetuk Rajendra, dalam. Tawa Titanic berhenti, pria itu seketika meresapi ucapan Rajendra.
Hatinya mendadak tersentil.
"Menjadi putri mahkota berarti siap melahirkan pewaris tahta, Yang Mulia. Kita bicara kemungkinan terburuk," sanggah Mahesa. Ia jelas tidak berpikiran sedangkal itu.
Mahesa tidak pernah menganggap Alamanda hanya sebagai alat untuk melahirkan anak-anaknya. Tidak.
Tetapi ini adalah skala prioritas, posisi Rajendra adalah putra mahkota. Sangat egois bila Rajendra ingin berperang begitu saja tanpa memikirkan untuk melahirkan keturunan sebagai pewaris tahta Naladhipa.
"Itu berat, Mahesa." Rajendra menggeleng. Ia belum siap untuk perang. Apalagi walau sudah ada tanda-tanda perpecahan di Naladhipa, belum ada bom yang meledak yang menyebabkan mereka harus berperang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Naladhipa : The Crown Princess
Ficção HistóricaSienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kematian Mendiang Raja dan upacara bunuh diri Mendiang Ratu yang melegenda, yang menjadi kunci kenapa harus Sienna yang jadi putri mahkota di u...