XX. Titik Mula

1.4K 163 81
                                    

Merebahkan badan setelah mandi air hangat dengan mawar serta garam membuat pegal-pegalku hilang. Gaun rumahan warna merah muda ini benar-benar favoritku. Kalau di duniaku dulu, lebih lazim disebut daster.

Suasana sepi namun tenteram Paviliun Matahari membuatku merasa lebih tenang. Ketika tadi pelatihan, rasanya separuh beban hidupku hilang.

Tetapi ketika ingat bahwa di usia enambelas tahun aku akan menikah, pundakku rasanya makin turun saja.

Aku tidak punya pilihan. Cepat atau lambat, aku akan tetap menikah.

Dan Putra Mahkota adalah calon suami yang sempurna untuk itu.

Tetapi aku menarik napas dalam-dalam. Kalau boleh jujur, gelenyar-gelenyar aneh ini muncul begitu saja, menyeruak menyesaki dada. Aku mengambil selimut, membungkus tubuhku yang tiba-tiba merinding kedinginan karena kebanyakan berpikir.

Aku masih belum siap untuk berdiri dengan kakiku sendiri.

Bagaimana dengan orangtuaku? Adik-adikku? Apa aku masih tetap bisa mengunjungi mereka?

Hidup menjadi seorang putri mahkota ... Menjadi wanita nomor dua di kerajaan bukan hal yang mudah. Sudah tak bebas, dibayangi macam-macam ... Harus patuh pada aturan.

Aku mengeratkan selimut, mengambil surat Putra Mahkota yang belum sempat kubaca. Tadi setelah sarapan, pria itu memberiku surat alih-alih menjawab pertanyaanku.

Katanya seluruh jawaban dari pertanyaanku ada di surat ini.

Aku mengatupkan bibirku, mengeratkan selimut menutupi tubuhku. Entah kenapa aku merasa udara berubah begitu dingin menusuk tulang. Tubuhku menggigil, mulutku bergetar. Aku membuka surat itu dengan tangan gemetaran.

Mataku bergulir dari paragraf pertama, membola begitu membaca tulisan tangan Putra Mahkota. Pupilku membelalak tak percaya. Kertas itu hampir jatuh bila aku tak kuat-kuat memegangnya.

Semua ini ... Sungguh di luar dugaanku.

Aku mungkin banyak mendengar dan membaca cerita sejarah di mana saudara kandung saling membunuh. Tetapi untuk kasus ini ...

Aku tidak pernah menyangka semua itu terjadi di keluargaku sendiri.

"Sienna sudah tidur daritadi?" Sayup-sayup aku mendengar suara bariton dari luar ruangan. Aku menatap sayu seluruh penjuru, tubuhku terlalu lemas untuk berdiri.

Suara itu, jelas milik Putra Mahkota.

**

Kenyataannya makin malam udara makin menusuk tulang. Aku meringkuk setelah mengambil jubah piyama tambahan. Mengambil celana, ya, di sini memang ada celana yang diperuntukkan sebagai dalaman perempuan. Aku memakainya untuk menutupi kakiku yang bulu-bulunya sudah berdiri karena kedinginan.

Mengeratkan selimut, aku menempelkan kakiku di dada untuk memerangkap panas. Tak terhitung sekian kali aku menggigil, dari bulan sempurna bertahta sampai matahari terbit dengan cerahnya.

Aku tidak bisa tidur.

Bukan berarti aku terjaga sepanjang waktu, tetapi begitu aku mulai terlelap, tubuhku yang lain seolah memberi rasa sakit agar aku terbangun lagi. Perutku seolah diaduk-aduk, dipelintir. Lambungku yang sensitif bisa jadi alasannya, aku yakin.

Aku melirik jendela yang terbuka sembari mengembuskan napas kasar. Tubuhku terlalu lemas untuk sekadar menutup jendela, hal yang mungkin saja jadi penyebab kenapa aku menggigil sepanjang malam. Ingin menggerakkan tubuh, tetapi hanya untuk menggerakkan kaki saja aku butuh usaha lebih.

"Tuan Putri, Yang Mulia Putra Mahkota sudah menunggu Anda di ruang makan." Pelayan yang biasanya melayaniku masuk, matanya membelalak melihat kondisiku yang masih bergelung dengan selimut.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang