XLIII. Energi

902 95 21
                                    

Alamanda berdiri di balkon kantornya. Memandangi barikade penjagaan Akademi Pusat yang demikian ketat. Kabar penyerangan lembaga-lembaga sudah tersiar. Alamanda langsung memerintahkan prajurit untuk memperketat penjagaan Akademi Pusat dan Akademi Bangsawan.

Mahesa yang entah di mana sekarang. Orangtuanya sudah di Bharata. Alamanda sudah mendengar kalau semua keluarga kerajaan pergi ke Bharata. Yang Mulia Raja juga menjalankan pemerintahan dari sana.

Ibunya bahkan menyuruhnya pergi ke Bharata juga. Tapi Alamanda menolak. Menatap gambaran kantornya dari balkon, Alamanda mengulum bibirnya.

Akademi Pusat adalah hal yang sudah ia perjuangkan selama ini. Ia tidak bisa pergi untuk kemudian kembali dan menemukan gedung Akademi sudah hancur berkeping-keping.

"Yang Mulia Tuan Putri, ada yang meminta bertemu dengan Yang Mulia." Grace, asistennya yang lama ikut dengannya itu menyodorkan nampan berisi blangko permintaan untuk bertemu.

Alamanda menerapkan aturan ketat di kantornya. Semua yang ingin bertemu wajib mengisi blangko. Ia tidak suka tamu tak diundang yang masuk dan mengacak-acak tempat kerjanya.

Nama Anargia Anjana membuat Alamanda menatap Grace intens. Jemari lentik Alamanda meraih pena, menimang-nimang pena itu di tangannya.

"Di mana anak itu?" Alamanda bertanya tajam. Mukanya memerah tak suka. Alamanda meremas pena dalam genggamannya, tetapi sesaat kemudian wajahnya sudah kembali seperti biasa.

Wajah cantik nan kalem yang anggun, wajah yang selalu Alamanda tunjukkan pada semua orang.

"Pangeran Nirvana ada di teras lantai satu, Yang Mulia."

"Sendirian?" Tangan Alamanda beralih ke lemari kerjanya, mengambil sebuah pena penuh ukiran yang ia kemudian ia simpan di balik gaunnya.

"Bersama beberapa pengawal. Tapi prajurit sudah memastikan Pangeran Nirvana aman." Grace melapor. Alamanda mengangguk, melangkah keluar dengan mengamankan pena di balik gaunnya.

Figur Anargia yang tinggi dengan jubah berwarna hijau kebiruan, bulu merak yang jadi lambang Nirvana itu membuat langkah Alamanda terhenti. Anargia berbalik, membungkuk memberi salam.

Alamanda menganggukkan kepala. Memasang senyum lembutnya yang menawan. Tidak peduli betapa ia sebal dengan pemuda yang ada di hadapannya, Alamanda memilih tersenyum halus. Menunjukkan betapa pentingnya etika dan tata krama bagi seorang wanita terpelajar.

"Yang Mulia Tuan Putri Agung Alamanda Averusy." Anargia mengulang salamnya. Alamanda masih mempertahankan senyumnya, meraba pena yang ada di balik gaunnya yang mengembang indah.

"Tidakkah Pangeran ke sini karena hal yang penting?" Alamanda bertanya lugas. Ia tidak bisa membuang-buang waktu. Waktunya tidak banyak.

"Aku membawa sesuatu yang sangat penting untuk Yang Mulia." Anargia tersenyum, senyum yang sangat sulit Alamanda artikan. Tidak mengejek, tetapi tidak juga tulus. Senyuman itu tampak menyimpan rahasia yang Alamanda tidak ketahui bentuknya.

"Situasi kerajaan sedang krisis. Sebagai pewaris utama daerah, seharusnya Pangeran tidak membuang banyak waktu." Alamanda menatap lurus Anargia dengan senyum lembutnya. Anargia merasakan bahunya menegang.

Keanggunan Alamanda yang begitu rupawan terasa sangat menusuk ulu hatinya.

Tetapi Anargia tidak gentar. Pemuda itu punya hal penting untuk dikatakan. Hal yang setidaknya bisa ia anggap sebagai penebus dosanya untuk Sienna. Hal yang betul-betul krusial.

"Penculikan Putri Mahkota sudah direncanakan tiga hari lagi." Anargia menatap Alamanda seolah menantang balik. Pemuda itu tersenyum puas mendapati pupil Alamanda yang melebar kaget, walau sedetik kemudian wanita itu kembali pada raut wajah anggunnya lagi.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang