XLV. Balik Arah

901 90 13
                                    

Aku hanya bisa merenung saat mendengar situasi terkini dari mulut Rajendra. Keberadaan Putri Alamanda di sini seolah mempertegas betapa kalutnya kondisi kerajaan. Aku juga sudah mendengar kabar tentang Anargia yang menyambangi Putri Alamanda untuk memberitahu kabar penculikanku.

Kakiku terasa lemas.

Keberadaan Putri Chavania dan Putri Melrose cukup membantuku. Mereka berbincang hangat, membawakanku berbagai ramuan yang entah didapat darimana. Mengalirkan energi positif, mereka berdua memang penyihir putih, bukan anak-anak biasa.

Aku terpaku pada buku perawatan anak yang aku baca. Kastil Bharata memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Aku awalnya tidak percaya karena Kastil Bharata tidak diurus oleh seorang nyonya, hanya ada Jenderal Besar dan kepala pelayan di sini. Tetapi kastil ini sangat terawat. Jenderal Besar punya orang-orang kompeten untuk merawat kastil ini dengan baik.

"Sudah malam, mau tidur jam berapa?" Suara bernada sinis milik Putra Mahkota membuatku menoleh. Pria itu sudah siap tidur dengan pakaian tidurnya, membuatku menatapnya penuh tanda tanya.

Biasanya dia tidur malam sekali. Dia 'kan sibuk.

"Bukunya belum selesai, kok." Aku capek tidur. Rebahan di kasur membuat tulang ekorku jadi kaku. Aku sudah tidur lama sekali kemarin.

"Bukunya masih bisa dilanjut besok, Na. Tidur sekarang," titahnya, menepuk-nepuk selimut yang kosong di sebelahnya. Aku dengan berat hati menutup bukuku, menuruti perintahnya.

Gara-gara kemarin malam, aku jadi paham kenapa Putra Mahkota seolah menempeliku terus-menerus. Energi. Janin yang ada di rahimku butuh energi Putra Mahkota secara kontinyu untuk tumbuh.

Janin yang ada di rahimku seolah menuntut keberadaan ayahnya di sekitar sang ibu. Yang seolah jadi perlambang bahwa masa kehamilan bukan hanya milik wanita, tetapi juga milik pria yang menjadi ayah dari anak yang dikandung wanitanya.

Aku mengelus perutku pelan. Begitu aku duduk di tepi ranjang, Putra Mahkota justru bangkit ke arah kursi tempatku membaca tadi. Mengambil buku yang tadi aku baca, pria itu kembali tiduran di sebelahku sambil memegang buku.

"Kalau kamu masih mau lanjut membaca, biar aku saja yang baca. Kamu tinggal dengar." Rajendra membentangkan buku di hadapannya, mulai membaca kalimat demi kalimat yang ada di bab-bab pertama.

"Eh, kamu baca sampai halaman berapa? Yang ini?" Rajendra menunjukkan pembatas buku padaku. Aku tersenyum hangat sembari menganggukkan kepala.

Rasanya masih seperti mimpi.

"Kak, tidak usah dibaca lagi saja. Aku mau bicara sesuatu." Aku mengambil buku dari genggamannya, menutupnya, lalu menaruhnya kembali ke nakas. Putra Mahkota menatapku dengan tatapan bingungnya, menumpu kepalanya dengan lengan di atas bantal.

"Serius sekali? Mau bicara apa?" Rajendra menggodaku, aku hanya tersenyum kecil. Aku sangat menghargai usahanya untuk menjaga kewarasan dengan cara bercanda di situasi yang sekalut ini.

Tetapi aku bukan manusia yang bisa bercanda saat situasi super kritis seperti sekarang.

"Kita habis ini ... Mau bagaimana?" Kalimatku terpatah-patah. Sudut hatiku benar-benar merasa tak enak.

Situasi kerajaan krisis. Kesulitan pangan pasti terjadi. Ada banyak rakyat yang butuh pertolongan medis pastinya. Situasi politik memanas. Kericuhan ada di mana-mana.

Dan aku, yang secara tidak langsung menjadi biang kericuhan, justru tiduran dengan nyaman di dalam kastil. Melarikan diri, menikmati kasur empuk dan makanan hangat. Menikmati bacaan dan kondisi damai di sebelah suamiku sendiri.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang