XCV. Persetujuan

449 57 3
                                    

Gasendra hari ini masih mendiamkan kami. Sepertinya ia betulan marah. Wajar untuk anak seumurannya tidak ingin punya adik. Perasaan kehilangan sangat wajar. Hal itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Gasendra hanya perlu waktu untuk mengerti.

Aku memutuskan mengantarkan Gasendra sekalian nanti menemui Ibu Ratu untuk menyetorkan proposal. Aku sebenarnya menebak Ayah Raja dan Ibu Ratu akan menghabiskan masa tua di Haridra. Itu rumah masa kecil Ibu Ratu. Ada banyak kenangan di sana.

Aku merapatkan sweterku. Baju yang kupakai sudah berlapis-lapis. Aku cukup bersyukur gejala mualku tidak parah. Aku berencana menyembunyikan kehamilanku sampai penobatan tiba.

"Hati-hati, Sen!" Aku mengantar Gasendra sampai ke gerbang. Gasendra hanya melirikku tajam lalu berjalan masuk. Ternyata Gasendra cukup serius untuk anak umur hampir tiga tahun.

"Yang Mulia harus langsung bilang padaku kalau Yang Mulia merasakan sesuatu." Marina menatapku cemas. Aku hanya mematri senyumku dan melangkah di koridor Paviliun Utama.

"Aku baik-baik saja. Lebih baik kau jalan lebih dulu, Marina." Aku sedikit mengusirnya. Kekhawatiran Marina akhir-akhir ini berlebihan. Aku bisa maklum.

Ibu Ratu sudah duduk manis di sofanya dengan proposal yang kukirimkan kemarin. Dengan jus sayur dan buah-buahan yang selalu identik dengan beliau. Aku membungkukkan badan memberi hormat lalu duduk setelah dipersilakan.

"Ibu sudah baca berkasnya. Ibu setuju. Ibu dan Ayah memang berencana tinggal di Haridra." Aku lega. Tebakanku betul. Aku tidak perlu repot-repot mengoreksi laporanku lagi.

"Ayahmu mau ambil pekerjaan sebagai diplomat khusus. Kurasa ayahmu itu pasti sudah diskusi dengan Putra Mahkota. Ibu sendiri tidak mau ikut campur urusan istana. Apa Ibu masih butuh gelar ibu suri?" Ibu Ratu menantangku berpikir. Aku baru saja duduk, padahal. Ibu Ratu hebat.

"Secara konstitusi, ratu yang turun dari tahta ratu otomatis bergelar ibu suri walau menolak berkuasa secara politik." Aku memerhatikan ekspresi Ibu Ratu yang mengulum senyum.

"Ya. Ibu tahu itu. Undang-undang itu dibuat untuk ratu yang menjadi janda cerai mati. Ibu dan Ayah lengser karena keinginan sendiri."

Aku memilih mendengarkan lanjutan perkataan Ibu Ratu. Ibu Ratu sepertinya ingin memastikan sesuatu. Aku tidak boleh lengah.

"Bukankah gelar ibu suri akan membuat kekuasaan kalian jadi melemah, Putri Mahkota?" Ibu Ratu menatapku seolah mengulitiku. Aku masih memasang senyumku di wajah.

Kepalaku mulai pusing.

"Selama Ayah Raja dan Ibu Ratu tidak mengintervensi kekuasaan kami setelah lengser, jawabannya tidak, Bu." Aku memberanikan diri untuk menjawab. Ibu Ratu tersenyum, tetapi aku bisa menangkap ada perbedaan dari senyumnya.

"Bagaimana kamu bisa menjamin hal itu terjadi? Jangan seyakin itu pada monarki yang sudah lengser." Kalimat Ibu Ratu membuatku refleks menelan ludah di balik senyumku. Aku hanya bisa mempertahankan senyumku, pelan.

"Tambahan lagi. Hilangkan anggaran pembangunan paviliun baru untuk Lakeisha. Seminggu sebelum penobatan, Ibu dan Ayah akan pindah ke Haridra. Lakeisha tinggal di Istana Sekar Kusuma, Paviliun Melati. Sebentar lagi dia keluar istana. Tidak usah khawatir." Ibu Ratu mempertegas sesuatu. Aku justru lebih fokus pada kalimat terakhir Ibu Ratu tentang Putri Lakeisha.

Apa Putri Lakeisha akan dijodohkan? Dengan siapa?

"Putri Lakeisha mau dinikahkan dengan siapa, Bu?" Jantungku berdegup kencang. Pernikahan Putri Lakeisha akan jadi tanggungjawabku. Setidaknya Lakeisha harus sampai di tangan pria yang baik walau aku tahu dia pasti bisa berjuang untuk dirinya sendiri.

[END] Naladhipa : The Crown Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang